Sabtu, 09 Januari 2010

Ulama dan Institusi Pendidikan Modern Periode Awal Minangkabau

OIeh : Muhammad Ilham

Di antara Syekh atau ulama yang dihasilkan pendidikan Islam pada masa ini antara lain adalah : Syekh Muh. Thaib Umar (1874-1920) Sungayang, Syekh H. Abdullah Ahmad (1878-1933), Padang, pendiri Pendidikan Adabiah School di Padang tahun 1909 yang sekarang sudah berkembang mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai ke tingkat SMA dan Akademi (Perguruan Tinggi). Kemudian, Syekh H. Abdul Karim Amarullah atau Inyiak Rasul (1879-1945), Maninjau, merupakan salah seorang Pimpinan dari surau Jembatan Besi yang banyak jasanya dalam pembaharuan pendidikan Islam. Surau itu sampai sekarang masih berdiri dengan Ruang Pendidikan Thawalib Padang Panjang, Syekh M. Jamil Jambek (1860-1947), Bukittinggi, dengan Surau Tengah Sawah Bukittinggi yang sampai sekarang masih ada dengan nama Mesjid Tengah Sawah. Syekh H. Sulaiman Ar-Rasuli atau familiar dengan panggilan Inyiak Canduang, Bukittinggi dengan Surau Candung Baso Bukittinggi, sekarang bernama Tarbiah Islamiah. Syekh H. lbrahim Musa, Parabek, Bukittinggi yang terkenal dengan Surau Parabek yang sampai sekarang masih ada. Dikenal juga ada Syekh H. M. Jamil Jaho, Padang Panjang dengan Surau Jaho di Padang Panjang, yang sekarang bernama Tarbiah Islamiah. Syekh H. Abbas Abdullah, Padang Japang, Payakumbuh dengan Surau Padang Japang yang sampai sekarang masih ada dengan nama Darul Funun Abbasiah. Syekh H. Abdul Wahid, Tabek Gadang, Padang Japang, Payakumbuh dengan Surau Tabek Gadang yang sekarang bernama Tarbiah Islamiah. Syekh M. Saad, Mungkar, Payakumbuh dengan Surau Mungkar. Syekh H. Mustafa Abdullah, saudara Syekh H. Abdullah Padang Japang, dan Syekh Daud Rasyidi (1880-1948).

Pendidikan Islam sebelum tahun 1909 dilaksanakan dengan sistem surau tanpa diadakan pembahagian kelas yang terpisah serta belum mempergunakan meja, kursi, papan tulis, kapur, dan lain-lain seperti yang dipergunakan dalam semester sekolah. Murid duduk bersila di sekitar atau di hadapan guru, semua murid terdiri dari laki-laki saja dan belum ada murid perempuan. Mulai tahun 1909 keadaan tersebut mengalami perubahan dengan didirikannya Sekolah Adabiah (Adabiah School) di Padang oleh Syekh Abdullah Ahmad. Sekolah Adabiah merupakan pelopor perubahan dan pembaharuan yang pertama kali dilakukan di Sumatera Barat dalam bidang pendidikan Islam dan pendidikan pada umumnya, dari sistem surau ke pendidikan yang mempergunakan sistem sekolah seperti dilakukan oleh pendidikan Belanda. Dalam pendidikan Islam sistem sekolah ini dikenal dengan nama sistem madrasah.

Sekolah Adabiah betul-betul telah mengganti sistem pendidikan Islam yang bukan lagi diartikan berusaha mengetahui segala ajaran agama Islam dengan sedalam-dalamnya tanpa memperhatikan tingkat kecerdasan, umur, dan lingkungan muridnya. Pendidikan itu sudah diartikan sebagai pendidikan umum terhadap murid untuk melatih cara berpikir logis dan kritis guna menghadapi keadaan sekitarnya atau lingkungan penghidupannya. Untuk mencapai tujuan itu Sekolah Adabiah juga memberikan pengetahuan umum seperti menulis, membaca, berhitung, ilmu bumi, dan bahasa, di samping pengetahuan tentang agama Islam. Tujuan pelajaran bukan lagi untuk memompakan pengetahuan Islam sebanyak-banyaknya, melainkan diarahkan untuk melatih kecerdasan murid.
Dalam menentukan kemampuan seorang murid berbeda dengan sistem surau, pada madrasah kemampuan murid diukur hanya penguasaan bahan pelajaran selama satu tahun saja sedangkan pada tahun terakhir dari pendidikannya diadakan ujian umum. Pengukuran kemampuan murid dilakukan secara bertahap tidak sekaligus seperti pada sistem surau. Penyelengaraan Sekolah Adabiah betul-betul sudah merupakan perkembangan baru dalam pendidikan di Sumatera Barat, khususnya dalam pendidikan Islam.
Jika diperhatikan situasi dan kondisi politik pemerintah Belanda di Indonesia pada waktu itu, khususnya dalam politik persekolahan, maka pendirian Sekolah Adabiah tidak bertentangan dengan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Mulai pertengahan abad ke-19 sampai abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda banyak melakukan perubahan atau perbaikan terhadap politik sebelumnya dalam bidang pemerintahan dan pendidikan. Khusus di bidang pendidikan banyak lembaga pendidikan didirikan seperti Sekolah Desa, Sekolah Kelas Dua, Sekolah Kelas Satu, Volkschool, Vervoigschool, HIS, MULO, AMS, HBS, Stovia, THS, RHS, dan lain-lain. Di Sumatera Barat hanya didirikan sekolah sampai tingkat AMS dan HBS saja, yaitu sampai tingkat sekolah menengah atas, yang paling banyak adalah Sekolah Kelas Dua.

Walaupun jumlah sekolah makin bertambah, bagi rakyat Sumatera Barat hampir tidak mempunyai arti untuk masuk sekolah itu sulit bagi rakyat biasa. Sekolah itu bertujuan untuk mendapatkan tenaga terlatih yang murah untuk mengerjakan kepentingan Belanda. Murid yang dapat diterima pada sekolah tersebut terbatas jumlahnya. Situasi dan kondisi pendidikan seperti itu merupakan faktor pendorong bagi Haji Abdullah Ahmad untuk mendirikan Sekolah Adabiah di Padang. Calon murid tidak dibatasi kepada anak orang berpangkat atau terpandang saja, tetapi juga bagi anak rakyat biasa. Semua anak yang sudah patut bersekolah dapat ditampung pada waktunya tanpa mendapat rintangan. Makin banyak anak mendapatkan pendidikan yang tepat, makin mudah memperbaiki penghidupan masyarakat di kemudian hari.

Sesudah Syekh H. Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiah di Padang Pada tanggal 4 Nopember 1910, Syekh M. Thaib Umar mendirikan pula sebuah sekolah yang bernama MadrasSchool di Sungayang, Batusangkar.
Sekolah itu hanya satu kelas saja, tetapi sesudah 3 tahun kemudian terpaksa ditutup kembali karena kekurangan tempat. Berbeda dengan Sekolah Adabiah, Madras School hanya membuka satu kelas saja yaitu kelas yang telah tinggi tingkatannya untuk membaca dan mempelajari kitab-kitab yang besar/tebal saja seperti tingkat tinggi pada Pengajian Kitab pada masa peralihan sebelumnya, tetapi dengan memakai sistem madrasah. Murid yang satu kelas pada Madras School diajak berdiskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan. Kitab-kitab besar yang dimaksud adalah buku-buku yang tebal yang belum dipelajari pada tingkatan sebelumnya. Selama satu tahun itu mereka disuruh berdebat tentang isi buku tersebut sampai mereka mengerti dan memahaminya dengan baik. Kepada mereka tidak dipompakan lagi pengetahuan tentang Islam, tetapi mereka sendiri yang mencarinya dengan berdiskusi di bawah bimbingan guru. Tamatan Madras School menjadi ulama yang luas pandangannya tentang Islam dan kehidupan manusia. Calon murid Madras School diterima dari tamatan pendidikan surau atau dari ulama yang ingin memperdalam ilmunya. Semua murid sudah merupakan orang yang berpengalaman di lapangan, baik sebagai guru maupun sebagai mubalig. Mereka masuk Madras School hanya untuk memperkuat ilmu yang telah mereka miliki. Walaupun hanya satu tahun lama pendidikannya, tetapi hasilnya mereka peroleh sangat banyak.

Pada tahun 1915 Zainuddin Labai AI-Yunusi mendirikan Madrasah Diniah di Padang Panjang dengan nama pada waktu itu. Alasan pendirian Madrasah Diniah adalah sebagai berikut:
"Dengan hasil pemikiran yang mendalam, pada tanggal 15 Oktober 1915, tuan Zainuddin Labai EI-Yunusi meresmikan pendirian sebuah sekolah Islam yang bani dengan metode yang baru bersama Diniah School atau Madrasatuddiniyah. Selain dari mengajarkan pelajaran agama sebagaimana biasa, juga mengajarkan pelajaran yang biasa disebut vak umum, seperti menulis, membaca, berhitung, Ilmu Falak, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Kesehatan, Ilmu Tumbuh-tumbuhan dan Ilmu Pendidikan. Sesungguhnya hebat dan mengagumkan. Itulah perguruan Islam yang termodern dewasa itu, dengan bangku, meja, dan kelas-kelas yang teratur, walaupun dengan cara yang sederhana.”


Sekolah Diniah merupakan sekolah Islam kedua di Sumatera Barat yang memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya seperti yang dilakukan pada sekolah Belanda. Namun antara Sekolah Adabiah dengan Sekolah Diniah terdapat perbedaan. Sekolah Adabiah merupakan pelopor pembaharuan pendidikan Islam dengan sistem sekolah, sedangkan Sekolah Diniah melakukan pembaharuan pendidikan agama dengan menambahkan mata pelajaran umum kepada mata pelajaran agama yang telah ada. Sekolah ini mendapat perhatian yang besar dari masyarakat Sumatera Barat, sehingga dalam waktu yang singkat sekolah Diniah sudah tersebar ke seluruh daerah Sumatera Barat yang merupakan cabang dari Sekolah Diniah Padang Panjang atau berdiri sendiri dengan memakai sistem Sekolah Diniah. Hingga tahun 1922, yaitu 7 tahun sesudah didirikan, maka didirikanlah perkumpulan murid Sekolah Diniah seluruh daerah Sumatera Barat dengan nama Persatuan Murid-murid Diniah School disingkat dengan PMDS dan berpusat di Padang Panjang.


Pada tahun 1923 Rangkayo Rahmah AI-Yunusiah, saudara perempuan Zainuddin Labai AI-Yunusi, mendirikan Madrasah Diniah Putri yang bertempat di Padang Panjang juga. Tetapi dua belas tahun sesudah Sekolah Diniah Putri didirikan, yaitu pada tahun 1935 Sekolah Diniah putra Padang Panjang yang sebelumnya sangat pesat perkembangannya terpaksa ditutup karena masalah politik. Namun Sekolah Diniah Putri tetap berdiri dan berkembang sampai sekarang, bahkan menjadi sebuah sekolah yang disukai oleh orang tua di Sumatera Barat untuk memasukkan anak putri mereka ke sana.


Pada tahun 1918 Syekh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi mendirikan pula sebuah madrasah dengan nama "Arabiah School" di Ladang Lawas, Bukittinggi. Ruang pendidikannya sudah mempunyai kelas yang terdiri dari tiga lokal berdinding bambu atap rumbia, tetapi sudah mempunyai bangku, meja, papan tulis, dan kapur. Arabiah School adalah gagasan dari Syekh Abbas Ladang Lawas yang kemudian menjadi pendorong berdirinya Persatuan Tarbiah Islamiah (PERTI) yang mengusahakan beberapa sekolah. Materi pelajaran agama Islam Sekolah Arabiah tidak sama dengan materi pelajaran Sekolah Diniah walaupun tingkat dan kelasnya sama, apalagi dengan Madras School. Antara sekolah Diniah sendiripun tidak ada yang sama materi pelajarannya, misalnya mata pelajaran Sekolah Diniah di Padang Panjang tidak sama mata pelajarannya dengan Sekolah Diniah yang di Bukittinggi. Penetapan mata pelajaran atau kurikulum yang akan dipakai pada masing-masing sekolah itu sangat tergantung pada sesepuh yang mendirikan sekolah itu. Keadaan itu sangat jauh berbeda dengan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yang sama mata pelajaran yang diberikan untuk tingkat yang sama di manapun sekolah itu terdapat.
Di samping itu Sekolah Arabiah sudah memberikan mata pelajaran umum dalam porsi yang lebih banyak, walaupun pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran utama, tetapi Madras School dan Sekolah Diniah seluruh mata pelajarannya masih berpangkal dari agama Islam yang ditambahkan denganmata pelajaran umum.


Sistem pendidikan surau masih tetap dilanjutkan, walaupun telah terjadi pembaharuan dalam pendidikan Islam.
Namun demikian ada juga beberapa buah surau yang tidak mau ketinggalan dengan perkembangan madrasah. Surau pertama yang telah memakai sistem kelas dengan mempergunakan meja, kursi, papan tulis dan alat bantu pelajaran adalah surau Jembatan Besi di Padang Panjang. Surau Jembatan Besi didirikan pada tahun 1914 oleh Syekh H. Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amarullah. Setelah Syekh Abdullah Ahmad pindah ke Padang, Haji Rasul mengantikan sebagai pimpinan Surau Jembatan Besi yang membawa banyak perubahan atau pembaharuan. Pada tahun 1915 pada Surau Jembatan Besi didirikan Koperasi Pelajar atau inisiatif Haji Habib, dan setahun kemudian koperasi itu diperluas lagi oleh Haji Hasyim.


Dengan didirikannya sebuah koperasi pada Surau Jembatan Besi kelihatanlah bahwa surau tersebut mempunyai sifat terbuka dan mau menerima sesuatu yang baru, karena pengaturan koperasi sudah dipengaruhi oleh pengetahuan Barat. Tetapi karena koperasi dianggap berguna dan menguntungkan, maka gagasan pendirian koperasi itu dapat diterima. Pada waktu itu koperasi merupakan sesuatu yang baru pada lembaga yang dikelola oleh Islam. Pada tahun 1913 Zainuddin Labai AL-Yunusi kembali ke Padang Panjang setelah menuntut ilmu dengan Syekh Abbas Padang Japang, Payakumbuh. Zainuddin Labai AL-Yunusi juga ikut menyumbangkan tenaganya sebagai guru pada surau tersebut dan tahun 1915 dia mendirikan Sekolah Diniah. Terpengaruh oleh sistem pendidikan yang dipergunakannya pada sekolah Diniah, maka dengan persetujuan Haji Rasul, Zainuddin labai AL-Yunusi mengajak pelajar-pelajar Surau Jembatan Besi membentuk suatu perkumpulan yang dinamakan "Makaraful Ichwan", untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam dan berusaha menyelesaikan masalah Agama secara ilmiah dan persahabatan antara sesama penganut agama Islam.


Pada tahun 1918 Zainuddin Labai AL-Yunusi, Jalaluddin Thaib dan Injiak Mandua Basa merubah nama Koperasi Pelajar Jembatan Besi dengan nama "Sumatera Thawalib" dengan memperluas ruang lingkup kegiatannya. Perubahan nama ini sekaligus merubah nama Surau Jembatan Besi menjadi nama Sumatera Thawalib. Perubahan nama tersebut diilhami oleh organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond" yang waktu itu sudah membuka cabangnya di Bukittinggi dan Padang, sedangkan Sumatera Thawalib juga berarti Organisasi Pelajar Sumatera.
Setelah Surau Jembatan Besi mengalami banyak perubahan dan pembaharuan, maka pada tahun 1918 Haji Rasul memperkenalkan sistem kelas pada Sumatera Thawalib dan semenjak itu sistem pendidikan surau yang selama ini dianut oleh Surau Jembatan Besi sudah berubah menjadi Sumatera Thawalib yang mempergunakan sistem sekolah. Sesudah sistem pendidikannya berubah, maka Haji Rasul menyusun kembali kurikulum, metode mengajar, dan buku yang akan dipergunakan pada Sumatera Thawalib dengan memasukkan mata pelajaran umum. Sementara itu Surau Parabek yang didirikan oleh Syekh lbrahim Musa yang bergerak ke arah pembaharuan dalam bidang pendidikannya yang di ikuti pula oleh beberapa surau lainnya. Pada tanggal 15 Januari 1919, dengan mengambil tempat di surau Syekh Muhammad Jamil Jambek Tengah Sawah di Bukittinggi diadakan pertemuan antara pelajar Sumatera Thawalib dengan pelajar Parabek. Hasil pertemuan ini adalah dibentuknya sebuah persatuan antara kedua pelajar lembaga pendidikan itu, yang dinamai "Sumatera Thawalib", dengan tujuan memperdalam ilmu dan mengembangkan agama Islam.

Pada tahun 1921 Syekh lbrahim Musa Prabek memperkenalkan sistem madrasah pada Surau Parabek seperti yang dilaksanakan pada Sumatera Thawalib dan semenjak itu surau Parabek sudah berubah namanya menjadi Sumatera Thawalib Parabek. Selanjutnya surau di Padang Japang, Maninjau, dan Batusangkar juga merubah nama dengan Sumatera Thawalib seperti yang dilakukan oleh Surau Jembatan Besi dan Surau Parabek. Sementara itu pengaruh Pergerakan Nasional Indonesia sudah terasa di Sumatera Barat. Pengaruh itu bukan saja di kalangan politisi, tetapi juga memasuki lembaga pendidikan yang sudah melaksanakan pembaharuan. Pengaruh ini membawa perubahan dalam memperbaiki kehidupan lembaga pendidikan di Sumatera Barat.


Pengaruh Pergerakan juga masuk ke tubuh Sumatera Thawalib terutama dengan tersebarnya sekolah Sumatera Thawalib di daerah Sumatera Barat yang mendorong pelajar untuk membentuk suatu organisasi yang dapat mempersatukan seluruh pelajar. Pada tanggal 22 Januari 1922, atas undangan pelajar Sumatera Thawalib Padangpanjang diadakan pertemuan antara wakil seluruh sekolah Sumatera Thawalib. Pertemuan itu memutuskan membentuk satu kesatuan organisasi pelajar Sumatera Thawalib di bawah satu Dewan Pusat dengan cabangnya di daerah-daerah. Kesatuan pelajar itupun dinamakan Pesatuan Pelajar Sumatera Thawalib dan pusat kegiatannya terdapat di Padang Panjang. Dengan adanya organisasi pelajar Sumatera Thawalib, maka mulai tahun 1923 terlihat perkembangan baru. Sumatera Thawalib yang selama ini hanya bergerak di bidang pendidikan mulai ikut politik yang menyebabkan pengurusan ini ditutup Belanda.
Sumatera Thawalib dapat melakukan perubahan sistem pendidikan, karena semangat pengarahan telah masuk ke Sumatera Barat dan mempengaruhi Sumatera Thawalib. Murid maupun guru Sumatera Thawalib mendapat dorongan untuk segera mendapat ilmu pengetahuan yang banyak dalam waktu yang singkat untuk disumbangkan kepada pergerakan kebangsaan. Kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan sangat meningkat pada Sumatera Thawalib, sehingga gagasan pembaharuan yang masuk ke Sumatera Thawalib mendapat sambutan hangat Guru Sumatera Thawalib seperti Haji Rasul, Zainuddin Labai AI-Yunusi, Haji Hasyim, Haji Habib, Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, dan lain-lain bukanlah orang yang fanatik, mereka adalah orang yang terbuka dan suka menerima pembaharuan, serta luas pandangannya. Menurut mereka untuk memperbaiki kehidupan dengan cepat dan tepat adalah melalui pembaharuan pendidikan.


Pada tahun 1918 majalah AI-Munir yang didirikan oleh Syekh H. Abdullah Ahmad di Padang sudah berdiri pula cabangnya di Sumatera Thawalib. Kantor majalah AI-Munir penuh dengan surat kabar dari seluruh Indonesia sebagai balasan pengiriman majalah AI-Munir. Di kantor AI-Munir itulah berkumpul murid Sumatera Thawalib bersama gurunya di waktu senggang untuk membaca surat kabar. Hal ini mempercepat luasnya pandangan mereka, baik mengenai situasi pendidikan, maupun mengenai situasi politik dalam dan luar negeri. Keadaan itu masih ditambah lagi dengan seringnya dilakukan diskusi di kantor tersebut yang menyebabkan penglihatan mereka semakin tajam terhadap suasana yang sedang mereka hadapi. Suasana yang demikian didukung pula dengan adanya penerbitan beberapa surat kabar dan majalah pada beberapa pendidikan Sumatera Thawalib yang berada di luar Padang Panjang, seperti majalah AI-Bayan di Parabek, AI-Basyar di Batusangkar, Al-ittqah di Maninjau dan Al-lman di Padang Panjang sendiri. Semua media itu berlomba menyiarkan agama Islam dan perkembangan baru tentang ilmu pengetahuan. Keadaan itu menyebabkan para pembacanyapun ikut menjadi orang yang suka dan haus pada pembaharuan.


Dengan menjadikan surau sebagai titik pangkal pembaharuan pendidikan Islam banyak masalah yang sudah dapat ditanggulangi terlebih dahulu, misalnya masalah biaya pendidikan, tempat belajar, dasar ke Islaman murid yang sudah kuat. Walaupun pendidikan surau itu berubah nama menjadi Sumatera Thawalib yang banyak terdapat di Sumatera Barat, mereka bukanlah merupakan madrasah yang bernaung pada satu induk. Banyak di antaranya yang berdiri sendiri dengan pendidikan masing-masing serta pelaksanaan yang berbeda pula, yang sama hanyalah nama saja yaitu Sumatera Thawalib. Masing-masing sekolah mempunyai kurikulum, menyusun materi pelajaran, melaksanakan metode mengajar sendiri. Sekolah itu sebelumnya memang sudah berdiri sendiri juga kebiasaan itulah yang terbawa terus. Walaupun banyak terdapat perbedaan dalam menyelenggarakan pendidikan, tetapi dalam berlomba mencari kemajuan, karang mengarang mengenai ilmu pengetahuan, Islam maupun pengetahuan umum, dan berlomba memberikan dakwah Islam kepada masyarakat tentang pembahaman pendidikan Islam.


Pada umumnya Sekolah Diniah mempergunaan buku keluaran Mesir, sedangkan Sumatera Thawalib memakai buku keluaran Mekah. Buku Mesir sudah dipengaruhi oleh pandangan baru mengenai Islam, sedangkan buku lama keluaran Mekah masih menunjukkan sifat asli Mekah, belum banyak dapat pengaruh perkembangan fikiran baru. Mengenai kedalaman pengajaran Islam, pada sekolah Sumatera Thawalib lebih mendalam dibandingkan dengan sekolah Diniah. Banyak di antara murid Sekolah Diniah yang pindah ke Sekolah Sumatera Thawalib mulai dari kelas IV atau V untuk memperdalam ilmu mereka tentang Islam. Oleh karena itu, sebahagian sekolah Diniah hanya mempunyai kelas sampai kelas IV, V, atau VI saja, sebab sesudah itu muridnya akan pindah ke Sumatera Thawalib. Hanya Sekolah Diniah di Padang Panjang yang masih tetap mempunyai kelas sampai tujuh buah. Tamatan Sumatera Thalib merupakan orang yang dalam ilmunya tentang Islam, mereka merupakan pemimpin Islam yang kuat pendiriannya dan berpegang teguh pada ajaran Islam ahli Mekkah. Sedangkan tamatan Sekolah Diniah agak kurang mendalam pengetahuan Islam, tetapi mereka merupakan pemimpin masyarakat yang luas pandangannya dan cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru. Mereka kelihatan lebih lincah di tengah-tengah masyarakat dibandingkan dengan tamatan Sumatera Thawalib. Namun, walaupun demikian dalam kehidupan sehari-hari kedua alumni sekolah itu merupakan tokoh masyarakat yang dlikuti dan dihormati, karena mereka dapat hidup saling berdampingan dan saling mengisi sehingga masyarakat tidak begitu merasa dan melihat adanya perbedaan itu.


Tahun 1930 perbedaan itu dapat diakhiri, karena kedua sekolah tersebut sudah sama-sama membutuhkan hal yang baru terutama untuk menghadapi Belanda dalam pergerakan kebangsaan. Mereka saling bantu dalam mencari sumber baru yang akan dijadikan bahan bacaan di sekolah, karena mereka juga sadar bahwa tanpa bahan bacaan baru pengetahuan mereka akan terbatas, sedangkan pergerakan Indonesia menuntut pengetahuan yang tinggi dari putra-putrinya. Alumni Sekolah Thawalib banyak yang terjun ke masyarakat dan menjadi pemimpin masyarakat yang diikuti dan dihormati. Tetapi pada hakekatnya bukanlah hal tersebut yang menjadi tugas pokok mereka. Kebanyakan di antaranya diangkat menjadi guru pada sekolah agama yang tersebar di Sumatera Barat.
Kebanyakan di antara mereka diangkat menjadi guru pada kelas yang rendah tingkatnya, misalnya kelas I, II, III dan IV karena pada kelas yang lebih tinggi akan diajar langsung oleh para Syekh. Di samping menjadi guru pada Sekolah Thawalib dan Sekolah Diniah dan sekolah agama, para alumni Sumatera Thawalib, dan Sekolah Diniah, tidak ada yang mengajar pada sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sebahagian lagi ada yang membuka sekolah sendiri di kampung dan mengajar di sana serta menyatakan diri sebagai cabang dari Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

Tamatan Sekolah Sumatera Thawalib dan Sekolah Diniah, tidak ada yang menganggur.
Begitu mereka tamat ada-ada saja kerja yang akan menunggu mereka atau mereka ciptakan. Murid Sumatera Thawalib dan Sekolah Diniah, selama belajar juga diberikan pelajaran akhlak dan cara berfikir serta hidup mandiri. Hal tersebut diberikan melalui contoh yang nyata dari kehidupan guru sehari-hari, baik di sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat. Kejujuran, ketinggian budi pekerti, kegigihan memperjuangkan kebenaran, kegigihan dalam memperjuangkan hidup, keuletan berusaha, sesuai kata dengan perbuatan, diberikan melalui contoh dalam praktek kehidupan guru sehari-hari. Murid dapat meniru teladan yang diberikan guru dan masyarakat umum, dengan contoh yang nyata. Hal itu dapat membentuk kepribadian murid yang kuat dan militan dalam segala perjuangan hidup, pantang menyerah. Jika tidak ada sekolah yang dapat menampungnya jadi guru, mereka membuka sendiri sekolah. Kemauan bekerja keras sudah dilatih semenjak berada di bangku sekolah. Menganggur mendatangkan perasaan bersalah dan berdosa kepada murid sekolah tersebut, guru maupun masyarakat.

Guru tamatan Sumatera Thawalib dan Sekolah Diniah mendapat sambutan dari masyarakat ke manapun mereka pergi di daerah Sumatera Barat, karena masyarakat sudah yakin betul dengan kemampuan mereka. Di samping menjadi guru mereka juga menjadi pemimpin masyarakat yang memang sudah dipersiapkan. Apa yang mereka terima di bangku sekolah sesuai dengan tugas yang mereka hadapi dalam masyarakat kemudian.
Pada awal abad ke-20 di Sumatera Barat Sekolah Adabiah, Sekolah Diniah, dan Sekolah Sumatera Thawalib merupakan pelopor di bidang pendidikan. Walaupun sudah banyak sekolah Islam yang mempergunakan sistem persekolahan, tidak berarti seluruh pendidikan Islam berubah semnuanya. Masih banyak sekolah yang mempergunakan sistem surau (halaqah) dalam pengelolaan pendidikan, terutama yang berada di kampung-kampung. Munculnya sistem madrasah pada pendidikan Islam tidak menghilangkan sistem surau sama sekali. Sesudah Kemerdekaan Indonesia sistem surau mulai berangsur hilang, karena lembaga pendidikan Islam di Indonesia harus mengikuti sistem yang telah diatur oleh Pemerintah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar