Jumat, 08 Januari 2010

Jejak Paderi dalam Sistem Pemerintahan Nagari

Oleh : Rusydi Ramli
Ditulis ulang : Muhammad Ilham


Nagari di Minangkabau adalah tempat berkumpulnya serta berinteraksinya masyarakat Minangkabau dalam satu tatanan yang sangat kokoh dan solid. Dalam konteks bahasa, nagari terdiri dari dua kata yaitu ”nan” dan kata ”gari”. Nan dipahami sebagai sebuah kesepakatan sedangkan Gari berasal dari kata Garip yang berasal dari bahasa kerajaan kecil di lereng Gunung Himalaya di hulu Sungai Mekong yang berarti wadah atau tempat. Jadi, dalam konteks asal usul bahasa ini, nagari adalah wadah atau tempat yang telah disepakati. Substansinya, ada suatu kesepakatan untuk bersatu. Dalam konteks geografis, nagari adalah bingkah tanah Tuhan Yang Maha Esa nan disungkuik langik salepai daun sirih (wilayah teritorial). Dalam konteks biologis, maka nagari adalah tempat dimana semua makhluk Allah SWT yang tumbuh dan lahir serta hidup dibingkah tanah nan salepai daun sirih tersebut seperti tumbuh-tumbuhan , hewan dan termasuk manusia yang dinamakan dengan anak nagari. Sedangkan nagari dalam konteks filosofis, bahwa nagari di Minangkabau baru dapat dikatakan sebagai kehidupan bernagari apabila tatanan kehidupan masyarakatnya sudah mengadatkan adaik nan basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sebagai landasan hidup. Dalam konteks ini, adaik jo syara’ adalah Isi Nagari. Kemudian, nagari dalam konteks sosiologis adalah wilayah nagari tersebut menjadi tempat atau wadah berinteraktifnya kehidupan anak manusia yang didalalamnya ada wadah yang memfasilitasi, difasilitasi, memotivasi serta mengapresiasi sepanjang adat berlaku dalam suatu nagari. Para pelaku hal tersebut adalah Isi Nagari yang dikenal dengan sebutan Orang Ampek Jinih.

Dalam konteks defenisi dari berbagai perspektif tersebut, terdapat kata kunci bahwa nagari tersebut adalah sebuah kesepakatan, musyawarah, keinginan untuk hidup bersama dan proses interaksi sosio-kulturalnya difasilitasi oleh isi nagari yang dipersonifikasikan oleh beberapa institusi. Memahami pemerintahan atau kepemimpinan nagari, tidak bisa dilepaskan dari konteks historis kelahiran sistem nagari tersebut. Periode awal sistem pemerintahan nagari dibentuk oleh dua orang Founding Fathers yaitu dua orang bersaudara satu ayah yaitu Dt. Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Kedua orang bersaudara ini mempunyai tatanan lingkungan kehidupan rumah tangga keibuannya yang sangat kontradiktif. Bagi nagari-nagari di Minangkabau yang memakai dan menerapkan tatanan kehidupan masyarakat hukum adatnya sistem hukum adat Koto Piliang, maka nagari tersebut Luhak Nagari Luhak Nan Barajo. Koto Piliang, ditandai dengan status penghulu bertingkat-tingkat (hierarchy) dengan wewenangnya bersifat vertikal yang manurut mamang adat dikatakan bajanjang naik batanggo turun, sistimnya juga dinamakan adat baraja-rajo, adanya penguasa sbg pembantu penghulu Pucuak. Dengan tingkatan : Panghulu Pucuak, Panghulu Andiko dan Panghulu Suku. Panghulu pucuak dipilih (terdiri) dari penghulu suku untuk manjadi penghlu Pucuk yang disebut dengan Penghulu Kaampek Suku. Panghulu Suku dibantu oleh Manti, Dubalang, Malin yang disebut Urang nan Ampek Jenih (Penghulu, Manti, Dubalang dan Malin). Sedangkan Malin terdiri dari empat orang yakni Qhadi, Imam, Khatib dan Bilal.


Sistem hukum adat yang dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang iitu sangat kental dengan aura musyawarah-mufakat yang kemudian hari dikenal sistem hukum adat Bodi Caniago. Nagari-nagari yang memakai paham serta sistem hukum adat yang dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ini disebut Nagari Lareh Nan Bajunjuang. Dalam sistem hukum adat Bodi Caniago, status penghulu sederajat dengan kewenangan yang bersifat herizontal, tidak dikenal adanya tingkatan-tingkatan penghulu (egaliter, non-hirarkis) sebagaimana halnya yang justru terdapat di sistem hukum adat Koto Piliang yang hirarkis, semua penghulu dalam sistem hukum adat Bodi Caniago sama derajatnya, duduak sahamparan, tagak sapamatang. Pemerintahan nagari dilakukan bersama oleh penghulu-penghulu andiko yakni penghulu dari tiap kampung dan paruik. Untuk memimpin dipilih diatara penghulu-penghulu tersebut (Gadang Balega).


Penelitian yang dilakukan di daerah Luhak Agam (sebagai minor spacial). Daerah ini merupakan basis dari Gerakan Paderi. Dari konteks sosiologis, pada umumnya daerah basis akan merupakan daerah yang paling pertama merasakan sosialisasi nilai-nilai, dan daerah basis ini juga biasanya yang pertama sekali merasakan implikasi dari sosialisasi dan aplikasi nilai-nilai tersebut.
Value of Originality from Origynal Society, kata B.O.J. Schrieke. Secara sederhana, ungkapan Schrieke ini bisa kita pahami bahwa untuk melacak substansi sebuah ide atau nilai, carilah pada masyarakat tempat ide itu lahir dan tumbuh-berkembang. Begitu juga dengan dinamika dari ide tersebut. Luhak Agam merupakan basis gerakan Paderi. Sebagaimana yang telah dideskripsikan dalam Bab terdahulu, di daerah inilah, figur-figur sentral gerakan Paderi berproses, di daerah ini pulalah para figur-figur tersebut membuat pilot project, nagari percontohan – tata nilai percontohan – tata kepemimpinan percontohan a-la Paderi yang kemudian mereka transfer dan aplikasikan kepada nagari-nagari lain dengan berbagai cara (baik persuasif maupun radikal-destruktif-anarkis). Di daerah ini pula, para figur Paderi mendapat “tempat yang nyaman” – meminjam istilah Taufik Abdullah – untuk berproses.

Luhak Agam dalam tataran adat lebih dikenal dan lebih dekat pada kelarasan Bodi Caniago, sebuah sistem yang egaliter dan tidak mengenal sistem kepemimpinan hirarkis, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Konsekuensi dari dekatnya sistem adat Bodi Caniago pada masyarakat Luhak Agam, sehingga dalam struktur kepemimpinan kultural tidak dikenal adanya Datuk Pucuk. Datuk Pucuk adalah sebuah posisi hirarkis yang menempatkan satu orang penghulu sebagai pimpinan yang dipersonifikansikan dengan ”pucuk” yang terletak di atas. Di daerah pesisir Minangkabau, konsep Datuk Pucuk tidak dikenal, walaupun dalam prakteknya ada Penghulu yang ”dituakan” yang biasanya dipanggil dengan ”Rang Tuo Rajo”. Di Luhak Agam, para penghulu mempunyai kedudukan yang sama. Bila dihubungkan fakta-fakta sosiologis antara karakteristik gerakan Paderi dengan karakteristik sistem adat yang dipakai, terdapat korelasi fakta sosial yang matching. Gerakan Paderi adalah gerakan puritan yang substansinya terletak pada prinsip-prinsip kesamaan hak dan egaliterianisme ide gerakannya. Sementara kelarasan (sistem adat) Bodi Caniago juga menempatkan prinsip-prinsip dasar egaliterianisme.


Walaupun belum ada studi yang cukup mendalam mengenai korelasi dua fakta sosial tersebut, namun bisa diasumsikan ada hubungan logis antara gerakan Paderi dengan Bodi Caniago. Daerah-daerah yang mayoritas menganut sistem adat Bodi Caniago, diasumsikan memiliki ”daya tahan” untuk menerima ide-ide Paderi dan memeliharanya dibandingkan daerah-daerah yang menganut sistem adat Koto Piliang. Walaupun sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa dalam tatanan nilai yang ditawarkan oleh Paderi, terdapat juga struktur sosial yang bernuansa hirarkis, namun secara substantif, gerakan Paderi adalah gerakan pemurnian ajaran Islam yang menganggap sistem sosial yang ditawarkan Rasulullah SAW dan kaum Wahabi adalah sistem yang sangat ideal untuk dipraktekkan. Sistem sosial yang ditawarkan (setidaknya menurut perspektif kaum Wahabi dan gerakan Paderi) adalah sistem sosial yang tidak ”eksploitatif-hirarkis” tapi egaliter-demokratis sebagaimana yang menjadi ”ruh” Bodi Caniago.


Di daerah Luhak Agam yang mayoritas menganut sistem adat Bodi Caniago tersebut, keberadaan Urang Ampek Jinih dan Jiniah Nan Ampek tetap ada, tapi sebutan atau jabatannya agak berbeda dengan panggilan dalam sistem adat Koto Piliang. Sesuai dengan mamang adat ”adat salingka nagari” masing-masing nagari tampaknya sepakat menggunakan istilah Urang Ampek Jinih tapi berbeda dalam susunan dan sebutan perangkat, misalnya pada nagari Kamang (baik daerah Kamang Mudiak maupun Kamang Hilia, dan diasumsikan juga sama untuk daerah sekitarnya) Urang Ampek Jinih itu adalah Penghulu, Tuanku, Manti dan Dubalang. Sedangkan pada Nagari Candung Koto Laweh, tidak mengenal istilah Manti dan Dubalang, tapi perangkat penghulu adalah Juaro dan Urang Mudo. Sedang Jiniah Nan Ampek adalah Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal.


Kepemimpinan agama yang secara melembaga (instututionalized) terlihat pada Jiniah Nan Ampek. Pertanyaan penelitian tentang fungsi kepemimpinan agama sebagaimana yang dibentuk oleh Paderi apakah masih berfungsi sebagai mana pada masa Padri dan bagaimana eksistensinya, masih terlihat di daerah-daerah seperti Candung Koto Laweh dan Kamang (walaupun dalam prakteknya ada perbedaan-perbedaan, tapi secara substantif pengaruh Paderi tersebut masih terlihat). Dari beberapa daerah yang dijadikan objek penelitian, terdapat daerah yang memiliki konsistensi historis terhadap sistem kepemimpinan yang dibentuk oleh kaum Paderi, ada beberapa daerah yang ”berimprovisasi” dan beradaptasi dengan perkembangan waktu, namun secra substantif tentang memakai semangat dan nilai-nilai atau sistem kepemimpinan yang diterapkan kaum Paderi tersebut.


Sebagaimana yang dikatakan oleh Dobbin, kaum Paderi pada setiap desa yang didudukinya mewajibkan mengangkat seorang Qadhi yang berfungsi berdampingan dengan Dewan Desa (Penghulu). Kontribusinya tidak begitu signifikan dalam bidang permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan, apalagi dalam bidang politik. Kontribusinya akan signifikan ketika berhubungan dengan sosial keagamaan seperti upacara-upacara keagamaan (seperti ritual-ritual life cyrcle) maka dia-lah yang menjadi hakim agungnnya. Nagari juga wajib mengangkat seorang imam yang bertugas menguraikan secara rinci ayat-ayat al-Quran dan melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Kaum Paderi, menerapkan sistem kepemimpinan a-la mereka dengan menempatkan Qadhi dan Imam dalam posisi yang setara dengan penghulu secara intens dan telah menjadi pilot project pada masa itu yaitu daerah Kamang dan Ampek Angkek, dua daerah yang termasuk basis paling utama gerakan Paderi.


Di nagari Kamang Mudiak, Qadhi dan Imam (Jinih Nan Ampek) difungsikan pada mesjid-mesjid yang disebut kemudian disebut sidang. Qadhi sebagi ketua (pimpinan) dari Jiniah Nan Ampek (Imam, Khatib dan Bilal) yang bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut agama (Islam). Sebelum ada Petugas Pencatat Nikah yang ditinjuk oleh negara (baca: Pemerintah) yang biasa dikenal dengan P3NTR (sekarang Penghulu) maka Qadhi-lah yang melaksanakankan akad nikah. Bahkan Qadhi bisa bertindak sebagai Wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Di daerah ini, Qadhi dan perangkatnya hanya berada pada tingkat sidang (masjid) atau jorong, tidak pada tingkat nagari. Sistem rekruitmen Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal sidang/masjid melalaui proses pemilihan dan diangkat oleh masyarakat dari yang biasanya diambil dari Jinih Nan Ampek pada suku-suku. Karena pada setiap suku ada jabatan Jinih Nan Ampek yang melekat pada Urang Ampek Jinih.


Menurut Hamka, apabila penghulu-nya bergelar Datuk Marajo, maka Qadhinya bergelar Qadhi (Kali) Marajo dan Imam Marajo dan seterusnya. Di daerah Magek, Kamang Hilia dan Kamang Mudiak, Angku atau Tuanku Qadi dan perangkatnya yang bertugas pada sidang (masjid) dipilih oleh masyarakat dengan memperhatikan illmu keagamaan sesuai bidangnya dan ketokohannya pada masyarakat. Kapabilitas dan kualitas menjadi seorang Qadhi begitu ”ideal” sekali, maka tidaklah mengherankan apabila pada masa-masa sebelum rezim Orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tersebut bahkan juga terlihat secara nyata pada masa akhir penjajahan Belanda, peranan Angku Kali (Qadhi) sangat kuat sekali dan disegani oleh masyarakat. Seorang Qadhi dipilih memang karena ia layak dianggap masyarakat sebagai Qadhi, baik dari segi ilmu maupun moralitasnya. Penilaian masyarakatlah yang menjadi patokan paling utama, bukan penilaian pemerintah ataupun struktur-jentera adat yang ada.


Seorang Qadhi diangkat karena memang masyarakat menganggap beliau layak dalam pandangan dan pemahaman masyarakat, untuk menjadi Qadhi. Hal ini ditambah dengan keluasan wilayah ”peran”nya. Sebuah peran yang dianggap urgen oleh masyarakat. Sekarang peran ini agak berkurang disebabkan adanya Petugas pencatat Nikah dari pemerintah. Dalam perspektif teori Struktural Fungsional pada Bab sebelumnya terlihat secara gamblang bahwa menghilangkan apresiasi masyarakat atau apresiasi komunitas sosial dimana ia berkiprah bisa dilakukan dengan jalan mendisfungsikan perannya atau terjadinya perubahan suatu struktur sehingga mempengaruhi struktur yang lain. Peran dan fungsi Qadhi yang begitu signifikan dan apresiasi masyarakat yang sangat tinggi membuat Qadhi bisa memerankan fungsinya sebagai salah satu jentera Urang Ampek Jinih secara maksimal. Suaranya didengar, pendapatnya dipertimbangkan. Pribadinya dihormati, posisinya dianggap sebagai sebuah posisi yang hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang memiliki kualitas keilmuan dan kualitas moral tinggi.


Dalam pembagian tugas, Penghulu menyelasaiakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan adat sedangkan Qadhi dan perangkatnya bertugas dalam masalah agama. Ada job description yang jelas, adat adalah domain penghulu, sementara agama adalah domain Qadhi. Sebagai contoh kalau terjadi sumbang salah dalam nagari, maka yang memiliki kapabilitas dalam menyelesaikannya adalah Qadhi dan perangkatnya yang diawali dari suku. Artinya, terdapat ”alur-birokrasi” penyelesaian kasus. Berawal dari internal suku. Sekiranya Jinih Nan Ampek tidak bisa menyelesaikannya baru, dibawah pada Ninik Mamak pada tingkat Taboh dan kemudian baru pada tingkat Nagari. Menurut Dt. Mareko biasanya masalah ini hanya sampai pada tingkat Jinih Nan Ampek. Biasanya penyelesaian permasalahan sumbang salah dalam sidang tersebut juga melibatkan penghulu kaum/suku atau Taboh. Karena melibatkan penghulu kaum tersebut, maka di daerah Kamang Magek tersebut, boleh dikatakan jarang sekali kasus-kasus sumbang salah sampai kepada nagari.
Masjid sebagai simbol syarat bernagari (Babalai bamusajid, balanbuah batapian) yang sekaligus sebagai sentra kegiatan agama berada dibawah penguasaan Qadhi dan perangkatnya. Sekalipun pada masa pemerintahan desa terbentuk adanya penguus Masjid tapi Qadhi yang termasuk dalam kepantian masjid tetap sebagai pengendali dari kegiatan masjid, seangkan pengurus lebih mengaah pada pembangunan phisik .

Jabatan Qadhi juga terdapat dalam sidang Dewan Penghulu pada nagari Kamang Mudiak tapi tidak pada nagari kamang Hilia. Qadhi pada sidang Dewan Penghulu tidak terkait dengan Qadhi pada sidang Masjid (Jenih nan ampek). tapi Qadhi yang diangkaat dalam sidang dewan penghulu dari kalangan penghulu itu sendiri. Adapun tugasnya untuk memonitor, menyumpah dan mamagang keputusan dari hasil sidang penghulu. Qadhi dalam rapat (sidang) ini dipilih dari kalangan Penghulu dan diangkat oleh sidang penghulu dan masa jabatannya hanya selama sidang/rapat atau bersifat insidentil-kasuistik, akan tetapi tetap mempertimbangkan kapabilitas keilmuan moralitas. Biasa dan bisa saja, seorang penghulu memiliki kapabilitas keilmuan agama (Islam) yang mumpuni dan dipandang padil menurut pandangan para penghulau sehingga dalam beberapa sidang atau rapat, seorang Qadhi langsung dipilih pada waktu sidang sedang atau telah selesai berlangsung.


Sebagaimana peneliti saksikan dalam sidang perkara antar kaum dalam sebuah suku di jorong Pauh nagari Kamang Mudiak, dimana terpilih Amiruddin Dt Mareko sebagai Qadhi. Beliaulah yang menyumpah kedua belah kaum yang bertikai mengenai harta dengan meletakkan keris di atas Cerano yang diserahkan oleh kaum yang akan disidangkan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka (kedua belah pihak) siap untuk disumpah yang dilakukan penyumpahannya oleh Qadhi menurut agama dan adat dihadapan sidang. Antara lain sebagai sangsi bila berbohong dan melanggar sumapah dikatakan ”Ka ateh indak bapucuk, kabawah indak bauerek, ditangah-tangah diliriak kumbang”. Setelah sang Qadhi menyelesaikan tugasnya (yang sangat tergantung pada materi rapat) maka posisi Qadhi lepas dengan sendirinya, dan kembali lagi kepada posisi Penghulu. Qadhi sidang ini ada pada setiap sidang terutama pada sidang perkara persengketaan, baik pada tingkat suku, Toboh maupun pada tingkat Nagari. Menurut Amruddin Dt. Mareko, biasanya yang terpilih menjadi Angku Kali (Qadhi) pada sidang penghulu adalah penghulu yang dianggap mempunyai ilmu agama, mempunyai latar belakang pendidikan agama dan dianggap lebih paham tentang hukum syarak.


Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa secara substantif, Jabatan Kali/Qadhi yang bersifat insedentil ini merupakan kelanjutan (continuity) dari ide Paderi yang mengangkat Imam dan Qadhi pada setiap nagari yang kemudian disebut dengan Imam dan Qadhi nagari. Pada masa ini tidak ada lagi jabatan Imam dan Qadhi Nagari yang ada adalah Qadhi dan Imam pada sidang (masjid), disamping jabatan yang eksklusif-gemmeinschaaft dalam jabatan penghulu dalam suku. Secara tradisional Penghulu berfungsi sebagai pimpinan kaumnya dan sekaligus pimpinan pemerintahan dari nagari (Dewan Kerapatan Adat). Pada awal gerakannya, Paderi berusaha untuk menggantikan kepemimpinan penghulu dengan kepemimpinan agama terutama pada daerah-daerah basis perjuangannya. Kemudian struktur kepemimpinan tersebut mengalami perubahan, yakni masa Paderi periode ke-dua, masa Belanda awal melalui Perjanjian Plakat Panjang-nya, dan kemudian dengan adanya Ordonansi 27 Septeber 1918, dilanjutkan perobahan pada awal kemerdekaan dan setelah PRRI pada akhir tahun 1960-an serta pada masa Orde baru (l976) dengan menggantikan Pemerintahan Nagari dengan Desa melalui Undang-Undang Nomr 5 tahun 1976 Tentang Pemerintahan Desa. Maka difungsikannya Qadhi yang bersifat insidental tersebut pada sidang-sidang Dewan Penghulu sebagai hasil perobahan atau dalam istilah Mochtar Naim sebagai ”metamorfosis” kultural.


Menurut Dt Singgo Gayua, sebelum PRRI jabatan Qadhi adalah sebuah jabatan yang sangat berpengaruh dalam nagari, karena yang diangkat menjadi Qadhi itu adalah orang yang betul mampuni, capable dalam bidang agama baik dari segi ilmu amupun amalannya, sejalan antara Ilmu dengan martabat. Sekalipun Angku Kali/ Qadhi tugasnya hanya pada sidang/masjid tapi dalam nagari ”katonya didanga”. Qadhi tempat membicarakan seluruh hal, tempat berkeluh kesah, tempat mencari solusi dan tempat dimana persoalan-persoalan kemasyarakatan ”bermuara”. Tapi pasca PRRI, terjadi pergeseran, reduksi atau perubahan fungsi dan peran dimana Angku Kali/Qadhi hanya berfungsi di masjid saja. Nagari Candung Koto Laweh yang masuk kawasan Ampek Angkek Candung yang menurut Keebet von Benda-Beckmen adalah nagari yang memiliki tatanan sosial politik yang luar biasa rumit. Sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid-masjid ( sidang), bertahan sebagai kombinasi pemerintahan dengan pemuka Islam dan pemangku adat, yang apakah ia digunakan sebagai pemerintahan murni teokratis selama pemerintahan Paderi.


Berbeda dengan Kamang dimana struktur adat dan pembahagian pemangku adat lebih jelas, rigid dan tertata dengan baik. Nagari Candung disebut dengan Candung 7 (tujuh) suku 12 (dua belas) hindu. Dikatakan Candung 7 (tujuh) suku disebabkan tujuh suku inilah yang secara historis membuka untuk pertama sekali menjadi daerah pemukiman. Dari pemukiman yang terbentuk ini kemudian muncul 3 (tiga) Koto yang bergabung dengn daerah asli dengan mengadakan perobahan terhadap sistim 7 (tujuh) suku menjadi 12 (dua belas) hindu yang terdiri dari 4 (empat) hindu dari masing-masing koto. Pada awal nagari ini didirikan terdapat 60 buah gadang yang masing-masing hindu terdiri dari 5 (lima) buah gadang dan setiap buah gadang dipimpin oleh seorang penghulu. Sekarang di Candung Koto Laweh terdapat 9 (sembikan) nama suku.


Secara ringkas dapat dikatakan bahwa di Candung Koto Laweh terdiri dari suku (suku pusako) dan hindu. Kemudian secara hirarkis-vertikal, setelah suku dan hindu, terdapat buah gadang dan dibawah buah gadang ini dinamakan dengan kaum. Suku dibentuk sesuai dengan prinsip leluhur bersama dari garis ibu dan ia dikenal melalui nama-nama puak (Koto, Caniago, Sikumbang dan lain-lain). Hindu atau hindu adat yang dulu disebut suku adat terbentuk sesuai dengan prinsip-prinsip adat dalam pengertian susunan politis yang tidak didasarkan pada leluhur garis ibu bersama. Hindu adat dinamakan berdasarkan atau menurut kelompok suku pusako yang dominan, atau menurut jumlah komponen kelompok-kelompok suku pusako. Hindu dipimpin oleh penghulu hindu dan dibantu oleh juaro yang berfungsi sebagai manti (menteri ) yang juga dibantu oeh Urang Mudo yang mendekati fungsi Dubalang atau pembantu Manti.


Buah gadang
merupakan sebuah kelompok keturunan dari garis ibu, terdiri dari hanya orang-orang dari satu nenek moyang menurut garis ibu. Mereka adalah orang yang sasako, sapusako dan saharato. Buah gadang kemudian bercabang lagi kedalam sub-kelompok formal yaitu kaum. Kaum dipimpin oleh mamak kaum atau masing-masing buah gadang tersebut bisa terdiri dari satu kaum atau lebih malah ada yang mencapai 13 (tiga belas) kaum. Salah satu perbedaan antara kaum adalah pada harta yan disebut harato lah babagi. Penghulu buah gadang bisa dibantu oleh penghulu Panungkek atau penghulu pembantu. Di Candung Koto Laweh, pimpinan agama dipegang oleh Tuanku (Urang Ampek Jinih) yang terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib dan Bilal. Tuanku berkedudukan pada Sidang. Sebagaimana dikatakan oleh Benda-Bekcman, bahwa sistem pembagian wilayah dihubungkan dengan keberadaan masjid yang disebut dengan Sidang. Terdapat 4 (empat) buah Sidang, yakni Sidang Bingkudu, Sidang Tigo Alua, Sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji. Masing-masing Sidang mempunyai persamaan dan perbedaan. Pada prinsipnya, Sidang terdiri dari Jinih Nan Ampek + Panghulu Nan Batigo + Ninik Nan Salapan. Untuk sidang 3 (tiga) sidang diluar Sidang Bingkudu yaitu sidang Tigo Alua, sidang Sabuah Balai dan Sidang Panji, angota-anggota sidangnya termasuk Penghulu sidang, akan tetapi penghulu sidang tersebut tidak bergelar Datuk yang ditunjuk secara bersama-sama secara aklamasi. Untuk kasus, Sidang Bingkudu tidak ada penghulu Sidang. Sidang langsung dipimpin oleh Qadhi.

Sidang terdiri dari beberapa Umpuak kecuali Sidang 3 Alua yang terdiri dari tiga susu. Umpuak adalah sekelompok orang yang mendiami daerah yang sama yang terdiri dari beberapa suku atau buah gadang. Umpuak dipimpin oleh Angku/ Tuanku Umpuak dan dibantu oleh niniak mamak nan salapan. Sidang terpusat pada masjid-masjid tertua. Umpuak lebh identik dengan Jorong yang merupakan bahagian terbawah dari pemerintahan nagari, karena Umpuak secara teritorial berada pada Jorong. Umpuak dipimpin oleh Tuangku Umpuak sedangkan Jorong dipimpin oleh kepala Jorong. Yang dipilih menjadi Tuanku Umpuak adalah orang yang mempunyai pengetahuan Agama dan atau terlebih dahulu diberi bekal pengatahuan agama.
Fungsi Sidang adalah pelaksana masalah agama diantaranya masalah Nikah Talak dan Rujuk serta masalah Buek (aturan yang dibuat pada umpuak atau padang) dan sidang bertindak sebagai eksekutor dari aturan tersebut. Mekanisme kerja Buek Perbuatan adalah Buek dilakukan pada Umpuk atau suku (Sidang 3 Alua). Sedangkan Perbuatan dilakukan pada Sidang (eksekutor). Aturan-aturan tersebut bukan hanya mengenai masalah agama saja, akan tetapi juga mengenai masalah kampung atau nagari (masalah sosial kemasyarakatan) seperti masalah gotong royong dan sejenisnya.

Menurut Syekh H. Amran A. Shamad, salah seorang elit agama Candung Koto Laweh, masyarakat tidak akan turun dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan kalau keputusan dan pemberitahuannya tidak melalui Sidang. Bahkan pada tingkat yang lebih birokratis, sampai saat sekarang ini, akad nikah tidak akan bisa berlangsung dalam nagari kalau bukan yang melaksanakannya Qadhi Sidang, sedangkan P3NTR hanya berfungsi sebagai pencatat atau pelaksana yang sifatnya administratif. Perbedaan yang cukup mencolok dalam ”memerankan fungsi” Qadhi antara sidang Bingkudu dengan tiga sidang lainnya, memperlihatkan pegaruh Paderi justru lebih kentara di daerah Bingkudu ini. Secara historis, bisa diasumsikan bahwa daerah Bingkudu merupakan daerah yang lebih dahulu di”Paderi”kan dan/atau daerah Bingkudu merupakan daerah ”paling ujung” dari wilayah nagari Candung Koto Laweh, sehingga secara sosiologis memiliki daya ”proteksi kultural” yang jauh lebih kaku dan teguh dibandingkan daerah-daerah lain di Candung Koto Laweh yang secara geografis lebih dekat dengan pusat transportasi dan diasumsikan memiliki tingkat mobilitas sosial yang sangat tinggi. Mobilitas sosial yang tinggi berkorelasi dengan kecenderungan improvisasi yang tinggi pula dalam menerima perubahan-Iperubahan ataupun adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang datang. Di Bingkudu, peran Qadhi yang strategis tersebut terefleksi dari bagan Struktur Sidang Bingkudu dibawah ini :

Dalam bagan ini yang menjadi ketua sidang adalah Qadhi dengan perangkatnya (Imam, Khatib dan Bilal) sbagai angota tetap, kemudian Angku nan batujuh sebagai anggota yakni Tuanku (Angku) dari tujuh Umpuak yang ada di Bigkudu. Masa jabatan Angku Umpuak ini tidak terbatas (seumur hidup) yakni selagi dipercaya oleh masyarakat. Jelas terlihat Sidang Buek Perbuatan ini terdiri dari pimpinan agama. Dalam rentang waktu keberadaan tatanan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Paderi, terlihat secara nyata, bahwa di daerah Kamang dan Candung Koto Laweh, substansi sistem pemerintahan (dengan peran Qadhi dan Imam yang cukup berperan dan berfungsi) berjalan sebagaimana dahulunya. Walaupun ada beberapa proses adaptasi dan inovasi. Sedangkan untuk daerah Candung Kota Laweh, fungsi Qadhi maupun sidang sangat signifikan sekali. Berbagai perubahan historis dengan segala kebijakan-kebijakan politis yang berpotensi besar mereduksi peran Qadhi tersebut, justru hal ini tidak terjadi terutama ada Sidang Bingkudu. Qadhi dan Sidang merupakan jentera sosial yang penting.


Penelitian tentang Islam (khususnya gerakan-gerakan keagamaan berbasiskan Islam) dengan menggunakan perspektif lokal perlu terus untuk ditumbuhkembangkan dan dirangsang, karena, pengungkapan sejarah lokal dengan kacamata atau perspektif lokal akan memiliki kontribusi epistimologis dan metodologis bagi pengungkapan sejarah Islam makro. Mengingat panjangnya rentangan waktu yang dibahas dalam penelitian ini serta munculnya beberapa pertanyaan seperti faktor-faktor konsistensi beberapa daerah dalam menggunakan sistem pemerintahan a-la Paderi serta hubungan antara tingkat penerimaan ide Paderi dengan sistem adat yang dipakai, merupakan beberapa pertanya yang ditimbulkan dari penelitian ini, maka diharapkan untuk masa yang akan datang, secara institusional, IAIN Imam Bonjol Padang dapat kembali memberikan prioritas dan alokasi dana untuk kelanjutan penelitian ini dan/atau diharapkan agar ada peneliti yang memiliki minat akademik terhadap berbagai pertanyaan yang muncul pasca penelitian ini, agar dapat menindaklanjutinya.


Sumber : Tesis Drs. Rusydi Ramli, MA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar