Seperti sunnatullah, bahwa penguasa itu datang dan pergi silih berganti, maka setelah naiknya Presiden Soeharto dalam tampuk kekuasaan negara, secara perlahan kondisi fisik presiden Soekarno setelah itu pun terus menyurut. Berbeda dengan ketika berkuasa, hari-hari terakhir Panglima Besar Revolusi ini berlangsung dengan pahit. Soekarno tersingkir dari kehidupan ramai sehari-hari. Ia terasing dengan kondisi sakit yang akut di rumahnya. Soekarno terkena tahanan kota. Ia tidak diperbolehkan menerima tamu dan bepergian. Pada tahun 1971 Soekarno pun meninggal dunia. Mendengar Soekarno meninggal, maka Hamka pun pergi untuk bertakziah. Tidak cukup dengan itu, Hamka kemudian mengimami shalat jenazah mantan presiden pertama itu. Pada saat itu orang sempat terkejut dan bingung ketika Hamka bersedia hadir dalam acara tersebut. Mereka tahu Soekarno-lah dahulu yang memutuskan untuk memasukkannya dalam penjara. ‘’Saya sudah memaafkannya. Dibalik segala kesalahannya sebagai manusia, Soekarno itu banyak jasanya,’’ kata Hamka.
Setelah itu, masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto bergerak semakin cepat. Hamka semakin dalam menceburkan diri ke berbagai aktivitas keagamaan. Secara rutin ia berceramah ke berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri. Setiap pagi sehabis Subuh siraman rohaninya yang disiarkan secara nasional melalui RRI terdengar ke berbagai penjuru pelosok tanah air. Dengan suara khas serak-serak basahnya, Hamka membahas berbagai soal kehidupan, mulai tingkat sangat sepele seperti cara bersuci yang benar sampai kepada persoalan sangat serius, misalnya soal tasawuf. Saking banyaknya penggemar, maka ceramahnya pun banyak diperjualbelikan dalam bentuk rekaman di tokok-toko kaset.
Pada tahun 1975, Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi, bila itu diterima maka ia tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif. Namun, Hamka menepis keraguan itu dengan mengambil langkah memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI dari pada berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti ‘kue bika’, yakni bila MUI terpanggang dari ‘atas’ (pemerintah) dan ‘bawah’ (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan MUI bisa akan mengalami kemunduran serius.
Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental ketika pada awal dekader 80-an, lembaga ini ‘berani melawan arus’ dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Hamka menyatakan ‘haram’ bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya fatwa itu kontan saja membuat geger publik. Apalagi terasa waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya, fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah. Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa keputusannya itu akan mengancam persatuan negara. Hamka yang waktu itu berada dalam posisi sulit, antara mencabut dan meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Bagi pengamat politik, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI adalah merupakan cerminan dari pribadinya. Bahkan, mereka pun mengatakan sepeninggal Hamka, kemandirian lembaga ini semakin sulit. Demi melanggengkan hegemoni Orde Baru kemudian terbukti melakukan pelemahan institusi keagamaan secara habis-habisan itu. Fatwa MUI sepeninggal dia terasa menjadi tidak lagi menggigit. Posisi lembaga ini semakin lemah dan terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka.
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar