Syekh Abdul Kahar dilahirkan di Lubuk Nyiur kenagarian IV Koto Mudik Kecamatan Batang Kapas. Data pasti tentang tanggal kelahirannya tidak didapatkan. Beliau meninggal pada tahun 1942. Pada waktu meninggal tersebut diduga umur beliau sudah mencapai kira-kira 100 tahun. Oleh karena itu diperkirakan Syekh Abdul Kahar ini dilahirkan pada tahun 1842. Ayahnya bernama Umek berasal dari suku Jambak dan ibunya bernama Mekah dari suku Caniago. Antara suku Jambak dengan suku Caniago dahulunya saling bekerjasama, baik dalam pembagian harta pusaka (ulayat), maupun dalam pembentukan dan pemindahan jabatan penghulu. Penghulu dari suku Jambak ini bergelar Datuk Bandaro Kayo, sedangkan dari suku Caniago bergelar Datuk R. Gaminyang. Jadi, kedua suku inilah yang mempunyai andil dalam pembagian segala yang berhubungan dengan kampung.
Atas dasar kerjasama inilah kedua orang tua Syekh Abdul Kahar dijodohkan. Pertalian darah kedua orang tua Syekh Abdul Kahar ke atas tidak dapat ditelusuri. Ini disebabkan tidak banyak yang mengetahui silsilahnya, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayahnya. Sosialisasi tentang orang-orang tua di kalangan mereka tidak begitu ditradisikan, sehingga “memori” mengenai silsilah mereka tidak begitu dihapal dengan baik oleh kedua belah pihak. Masa kecil Abdul Kahar dijalani di kampung halamannya. Pada masa-masa ini belum ada lembaga pendidikan formal di Kuala Nyiur. Oleh karenanya Abdul Kahar belajar dari satu guru ke guru lainnya. Namun pendidikan non formal yang dia lalui ini tidak membuat karakter Abdul Kahar kecil ini menjadi baik. Masa remajanya dihabiskan untuk berbuat hura-hura, bahkan ketika beliau berumur lebih kurang 20 tahun, beliau pernah melakukan pembunuhan. Kenakalan Abdul Kahar seperti inilah yang membuat masyarakat Kuala Nyiur menggelarinya dengan Angku Kali Engkar, sebuah gelar yang bertendensi negatif untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa sosok yang bernama Abdul Kahar adalah sosok yang engkar atau tangka.
Gelar yang diberikan oleh masyarakat ini, ditambah dengan sikap masyarakat yang tidak bersahabat kepadanya, telah menyebabkan Abdul Kahar kemudian mengambil jalan menghindari orang kampungnya sendiri. Selama lebih kurang enam tahun Abdul Kahar melanglang buana, hingga sampai ke darah Bungus Padang, Di daerah pantai ini, persisnya di daerah Galanggang Kuo, dia menuntut ilmu hitam. Tidak didapatkan data dengan siapa Abdul Kahar menuntut ilmu hitam itu, namun yang pasti, gelar Angku Kali Engkar tersebut telah “dipupuk”nya selama enam tahun, dan selama itu pula dia menuntut ilmu hitam kepada beberapa orang guru di daerah Bungus dan sekitarnya. Setelah “puas” menuntut berbagai jenis ilmu hitam di daerah ini, Abdul Kahar kemudian pergi ke daerah Kapujan, kecamatan Bayang. Di daerah ini ia bertemu dan belajar dengan seorang ulama, yaitu Syekh Muhammad Djalil.
Syekh Muhammad Djalil berasal dari Pancung Tebal. Beliau secara genetic merupakan keturunan ulama, Ayahnya bernama Syekh Muhammad Fatawi (Yulizal Yunus, 1991:19). Syekh Muhammad Djalil menuntut ilmu di Mekkah selama tiga tahun untuk kemudian pulang ke Kapujan dan mendirikan pengajian di daerah ini. Dengan Syekh Muhammad Djalil ini, Abdul Kahar merubah seluruh lembaran hitam hidupnya. Di bawah bimbingan anak tunggal Syekh Muhammad Fatawi ini, Abdul Kahar belajar dengan semangat yang tinggi dalam mendalami ilmu agama. Syekh Muhammad Djalil mampu menjinakkan “keliaran” Abdul Kahar dan akhirnya mau mendalami agama Islam selama beberapa tahun, hingga berkat ketekunannya dapat memperoleh gelar Syekh. Berita perkembangan yang kontradiktif dari pribadi Abdul Kahar yang pada awalnya sangat engkar menjadi seorang Syekh, sampai ke kampungnya Kuala Nyiur. Antara percaya dan tidak, akhirnya kedua orang tua beliau sengaja pergi melihat beliau ke Kapujan. Rasa terkejut bercampur bangga, mereka melihat Abdul Kahar betul-betul sudah berubah banyak, bahkan keterkejutan mereka semakin bertambah ketika mendengar sendiri dari Syekh Muhammad Djalil bahwa anak mereka sudah bergelar Syekh, sebuah gelar prestisius di kala itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, Syekh Abdul Kahar kembali ke kampung halamannya dan mendirikan surau. Sebuah tradisi yang lumrah terjadi pada masa itu, di mana seorang murid ketika pulang ke kampungnya harus mentransfer ilmunya melalui berbagai media atau lembaga pendidikan. Media atau lembaga pendidikan yang cukup populer ketika itu adalah surau. Surau yang didirikan oleh Syekh Abdul Kahar sangat diminati masyarakat, baik yang berasal dari Kuala Nyiur sendiri, maupun dari daerah lainnya. Bahkan hingga saat ini, Syekh Abdul Kahar ini masih dianggap sebagai tokoh yang membawa thariqat Naqsyabandiah sekaligus sebagai ulama yang termasuk membawa pencerahan Islam di daerah Pesisir Selatan.
Sebagaimana halnya sudah menjadi kultur pada waktu itu, seorang Syekh dianggap sebagai “bibit” terbaik bagi keturunan. Hal ini juga berlaku di kalangan masyarakat di sekitar tokoh ini. Keadaan inilah yang telah membuat Syekh Abdul Kahar memiliki banyak istri. Diantara istri-istri Syekh Abdul Kahar adalah : pertama Makdina, berasal dari Padang Galundi, suku Sikumbang. Dari perkawinan ini beliau tidak dikaruniai anak. Istri kedua beliau tidak diketahui nama aslinya, biasanya orang memanggilnya dengan sebutan Ayek Surau, sebuah panggilan yang menunjukkan bahwa istri kedua Syekh Abdul Kahar ini taat beribadah. Ayek Surau berasal dari Kampung Tangah, suku Melayu. Dengan istri ini beliau dikaruniai anak lima orang, yaitu Aji Jakban, Angku Eho, Ilyas, Adiek, dan Upiek Kape. Dari istri ketiga beliau yang bernama Mina dari suku Sikumbang, dikaruniai satu orang anak yang bernama Nurma (Upiak Ancak). Perkawinan Syekh Abdul Kahar yang terakhir adalah dengan Syariah dari suku Sikumbang Kampung Nibung dan memperoleh anak empat orang, yaitu Amir, Ma’ani, Mu`mini, dan Halimatussa’diyah.
Syekh Abdul Kahar dikenal sebagai salah seorang ulama thariqat Naqsyabandiyah di daerah Pesisir Selatan. Dari pengajian surau yang beliau jalankan hingga mendirikan lembaga pendidikan formal, beliau dikenal sebagai pendidik yang mampu memadukan sistem pendidikan dalam kelas dengan pendidikan yang bernuansa thariqat Naqsyabandiyah. Beliau juga dkenal dengan kegigihannya dalam mengambangkan lembaga pendidikan yang beliau dirikan. Beliau sangat menyadari bahwa Islam akan mampu berkembang dengan baik apabila ditopang dengan generasi muda yang berilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama. Berawal dari pendidikan non formal yaitu pendidikan surau, seterusnya beliau mendirikan lembaga pendidikan resmi yang bergerak dalam pengembangan ilmu agama Islam dengan basis pendidikan yaitu dengan mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Pola pendidikan yang beliau sosialisasikan di lembaga pendidikan yang dirintisnya ini adalah gabungan antara pelajaran dalam kelas dengan ritual kontemplatif, yaitu disamping belajar ilmu-ilmu keislaman seperti Akhlaq, hukum Islam (Fiqh), Tafsir dan lain-lain, oleh Syekh Abdul Kahar, murid-murid juga diarahkan untuk melaksanakan latihan khalwat atau lebih dikenal dengan suluk. Melalui khalwat ini, Syekh Abdul Kahar mengharapkan murid-muridnya mampu merenungkan dan menyadari kesalahan-kesalahan dirinya serta mampu menahan hawa nafsu yang setiap hari menggoda. Suluk juga ditujukan untuk mengarahkan setiap individu untuk mengenal diri sendiri dan mengenal Allah. Biasanya ritual suluk ini dilaksanakan setiap bulan Ramadhan. Mengenai lembaga pendidikan yang beliau dirikan (MTI Kuala Nyiur) ini, sampai hari ini masih eksis dengan segala dinamikanya.
Oleh anak-anak Syekh Abdul Kahar, pada tahun 1994, MTI ini dijadikan Yayasan dengan nama Yayasan Pondok Pesantren Modern Taruna Syekh Abdul Kahar. Yayasan ini dikelola oleh Nurma, anak Syekh Abdul Kahar sendiri bersama dengan kemenakannya J. Datuk Gamunyang. Keberadaan Syekh Abdul Kahar dalam proses masuk dan berkembangnya thariqat Naqsyabandiyah di daerah Pesisir Selatan cukup berarti. Beliau dikenal sebagai salah seorang dari beberapa orang ulama yang mensosialisasikan thariqat ini. Oleh karena itu, setidaknya, pembicaraan tentang thariqat Naqsyabandiyah di Pesisir Selatan harus dihubungkan dengan Syekh Abdul Kahar.
(c) Tim Peneliti FIBA IAIN PadangAtas dasar kerjasama inilah kedua orang tua Syekh Abdul Kahar dijodohkan. Pertalian darah kedua orang tua Syekh Abdul Kahar ke atas tidak dapat ditelusuri. Ini disebabkan tidak banyak yang mengetahui silsilahnya, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayahnya. Sosialisasi tentang orang-orang tua di kalangan mereka tidak begitu ditradisikan, sehingga “memori” mengenai silsilah mereka tidak begitu dihapal dengan baik oleh kedua belah pihak.
Gelar yang diberikan oleh masyarakat ini, ditambah dengan sikap masyarakat yang tidak bersahabat kepadanya, telah menyebabkan Abdul Kahar kemudian mengambil jalan menghindari orang kampungnya sendiri. Selama lebih kurang enam tahun Abdul Kahar melanglang buana, hingga sampai ke darah Bungus Padang, Di daerah pantai ini, persisnya di daerah Galanggang Kuo, dia menuntut ilmu hitam. Tidak didapatkan data dengan siapa Abdul Kahar menuntut ilmu hitam itu, namun yang pasti, gelar Angku Kali Engkar tersebut telah “dipupuk”nya selama enam tahun, dan selama itu pula dia menuntut ilmu hitam kepada beberapa orang guru di daerah Bungus dan sekitarnya. Setelah “puas” menuntut berbagai jenis ilmu hitam di daerah ini, Abdul Kahar kemudian pergi ke daerah Kapujan, kecamatan Bayang. Di daerah ini ia bertemu dan belajar dengan seorang ulama, yaitu Syekh Muhammad Djalil.
Syekh Muhammad Djalil berasal dari Pancung Tebal. Beliau secara genetic merupakan keturunan ulama, Ayahnya bernama Syekh Muhammad Fatawi (Yulizal Yunus, 1991:19). Syekh Muhammad Djalil menuntut ilmu di Mekkah selama tiga tahun untuk kemudian pulang ke Kapujan dan mendirikan pengajian di daerah ini. Dengan Syekh Muhammad Djalil ini, Abdul Kahar merubah seluruh lembaran hitam hidupnya. Di bawah bimbingan anak tunggal Syekh Muhammad Fatawi ini, Abdul Kahar belajar dengan semangat yang tinggi dalam mendalami ilmu agama. Syekh Muhammad Djalil mampu menjinakkan “keliaran” Abdul Kahar dan akhirnya mau mendalami agama Islam selama beberapa tahun, hingga berkat ketekunannya dapat memperoleh gelar Syekh. Berita perkembangan yang kontradiktif dari pribadi Abdul Kahar yang pada awalnya sangat engkar menjadi seorang Syekh, sampai ke kampungnya Kuala Nyiur. Antara percaya dan tidak, akhirnya kedua orang tua beliau sengaja pergi melihat beliau ke Kapujan. Rasa terkejut bercampur bangga, mereka melihat Abdul Kahar betul-betul sudah berubah banyak, bahkan keterkejutan mereka semakin bertambah ketika mendengar sendiri dari Syekh Muhammad Djalil bahwa anak mereka sudah bergelar Syekh, sebuah gelar prestisius di kala itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, Syekh Abdul Kahar kembali ke kampung halamannya dan mendirikan surau. Sebuah tradisi yang lumrah terjadi pada masa itu, di mana seorang murid ketika pulang ke kampungnya harus mentransfer ilmunya melalui berbagai media atau lembaga pendidikan. Media atau lembaga pendidikan yang cukup populer ketika itu adalah surau. Surau yang didirikan oleh Syekh Abdul Kahar sangat diminati masyarakat, baik yang berasal dari Kuala Nyiur sendiri, maupun dari daerah lainnya. Bahkan hingga saat ini, Syekh Abdul Kahar ini masih dianggap sebagai tokoh yang membawa thariqat Naqsyabandiah sekaligus sebagai ulama yang termasuk membawa pencerahan Islam di daerah Pesisir Selatan.
Sebagaimana halnya sudah menjadi kultur pada waktu itu, seorang Syekh dianggap sebagai “bibit” terbaik bagi keturunan. Hal ini juga berlaku di kalangan masyarakat di sekitar tokoh ini. Keadaan inilah yang telah membuat Syekh Abdul Kahar memiliki banyak istri. Diantara istri-istri Syekh Abdul Kahar adalah : pertama Makdina, berasal dari Padang Galundi, suku Sikumbang. Dari perkawinan ini beliau tidak dikaruniai anak. Istri kedua beliau tidak diketahui nama aslinya, biasanya orang memanggilnya dengan sebutan Ayek Surau, sebuah panggilan yang menunjukkan bahwa istri kedua Syekh Abdul Kahar ini taat beribadah. Ayek Surau berasal dari Kampung Tangah, suku Melayu. Dengan istri ini beliau dikaruniai anak lima orang, yaitu Aji Jakban, Angku Eho, Ilyas, Adiek, dan Upiek Kape. Dari istri ketiga beliau yang bernama Mina dari suku Sikumbang, dikaruniai satu orang anak yang bernama Nurma (Upiak Ancak). Perkawinan Syekh Abdul Kahar yang terakhir adalah dengan Syariah dari suku Sikumbang Kampung Nibung dan memperoleh anak empat orang, yaitu Amir, Ma’ani, Mu`mini, dan Halimatussa’diyah.
Syekh Abdul Kahar dikenal sebagai salah seorang ulama thariqat Naqsyabandiyah di daerah Pesisir Selatan. Dari pengajian surau yang beliau jalankan hingga mendirikan lembaga pendidikan formal, beliau dikenal sebagai pendidik yang mampu memadukan sistem pendidikan dalam kelas dengan pendidikan yang bernuansa thariqat Naqsyabandiyah. Beliau juga dkenal dengan kegigihannya dalam mengambangkan lembaga pendidikan yang beliau dirikan. Beliau sangat menyadari bahwa Islam akan mampu berkembang dengan baik apabila ditopang dengan generasi muda yang berilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama. Berawal dari pendidikan non formal yaitu pendidikan surau, seterusnya beliau mendirikan lembaga pendidikan resmi yang bergerak dalam pengembangan ilmu agama Islam dengan basis pendidikan yaitu dengan mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Pola pendidikan yang beliau sosialisasikan di lembaga pendidikan yang dirintisnya ini adalah gabungan antara pelajaran dalam kelas dengan ritual kontemplatif, yaitu disamping belajar ilmu-ilmu keislaman seperti Akhlaq, hukum Islam (Fiqh), Tafsir dan lain-lain, oleh Syekh Abdul Kahar, murid-murid juga diarahkan untuk melaksanakan latihan khalwat atau lebih dikenal dengan suluk. Melalui khalwat ini, Syekh Abdul Kahar mengharapkan murid-muridnya mampu merenungkan dan menyadari kesalahan-kesalahan dirinya serta mampu menahan hawa nafsu yang setiap hari menggoda. Suluk juga ditujukan untuk mengarahkan setiap individu untuk mengenal diri sendiri dan mengenal Allah. Biasanya ritual suluk ini dilaksanakan setiap bulan Ramadhan. Mengenai lembaga pendidikan yang beliau dirikan (MTI Kuala Nyiur) ini, sampai hari ini masih eksis dengan segala dinamikanya.
Oleh anak-anak Syekh Abdul Kahar, pada tahun 1994, MTI ini dijadikan Yayasan dengan nama Yayasan Pondok Pesantren Modern Taruna Syekh Abdul Kahar. Yayasan ini dikelola oleh Nurma, anak Syekh Abdul Kahar sendiri bersama dengan kemenakannya J. Datuk Gamunyang. Keberadaan Syekh Abdul Kahar dalam proses masuk dan berkembangnya thariqat Naqsyabandiyah di daerah Pesisir Selatan cukup berarti. Beliau dikenal sebagai salah seorang dari beberapa orang ulama yang mensosialisasikan thariqat ini. Oleh karena itu, setidaknya, pembicaraan tentang thariqat Naqsyabandiyah di Pesisir Selatan harus dihubungkan dengan Syekh Abdul Kahar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar