Senin, 11 Januari 2010

Tuanku Imam Bonjol : "Dikenang dan Digugat"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Instead, Tuanku Imam Bonjol is remembered, a man who was ultimately a military failure, who was ideologically disillusioned, and for whom a shift from violent action to conciliatory discourse was rewarded with exile and misery (Jeffrey Hadler).


Sepanjang 64 tahun kemerdekaan Indonesia, nama Tuanku Imam Bonjol (TIB) hadir di ruang publik bangsa ini—sebagai nama jalan di banyak kota, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran 5000-an rupiah keluaran Bank Indonesia 6 November 2001 (lihat ilustrasi). TIB (1772-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973, adalah salah seorang pemimpin utama Perang Paderi di Sumatra Barat (1803-1837) yang gigih melawan kolonialis Belanda. Namun, baru-baru ini muncul petisi yang menggugat gelar kepahlawanan TIB. Menurut petisi itu sosok TIB tak layak jadi Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau dituduh melanggar hak azasi manusia (HAM) karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (lihat http://www.petitiononline.com/bonjol/petition.html; dikunjungi 18 November 2007). Kekejaman Kaum Paderi disorot lagi dengan diterbitkannya kembali buku M.O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi oleh Hamka, 1974), menyusul kemudian karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, yang kebetulan berasal dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyang mereka dan orang Batak pada umumnya selama serangan tentara Paderi antara 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, Angkola, Sipirok, Padang Lawas, dan sekitarnya (Tempo edisi 34/36/15-21 Oktober 2007).

Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini, yang juga mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional, seharusnya menjadi renungan semua komponen bangsa. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya akan mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar (masyarakat umum) yang berpotensi memecah-belah bangsa ini. Ujung pena kaum akademis harus tajam, tapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung ‘hawa panas’. Itulah sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata yang bernuansa subjektif dalam teks ilmiah – yang sayangnya diumbar tanpa kontrol dalam buku M.O. Parlidungan (2006 [1964]) – mesti disingkirkan sekuat tenaga oleh para penulis akademis. Kaum akademis dan intelektual adalah palang pintu terakhir untuk menjaga keutuhan bangsa ini di tengah langkanya politikus dan birokrat kita yang layak dijadikan panutan.


Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah- (bangsa)nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari juga bahwa negara-bangsa (nation-state) apapun di dunia ini memerlukan mitos-mitos pengukuhan (myth of concern). Sebuah mitos pengukuhan tidaklah buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “lem perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII,…., juga TIB, adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia. Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (Journal of Asian Studies 67.3, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, dan hal itu setidaknya terkait tiga kepentingan: Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).


Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu bahwa pada zaman itu perbudakan adalah bagian dari sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangganya. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.


Tak dapat dimungkiri bahwa Perang Paderi telah meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatik dalam memori kolektif bangsa Indonesia. Selama kurang lebih 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang saling berbunuhan adalah sesama saudara sendiri—antara sesama orang Minangkabau dan orang Mandailing atau Batak pada umumnya. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena ‘diundang’ oleh Kaum Adat. Pada 21 Februari 1821 Kaum Adat secara resmi menyerahkan wilayah Luhak Nan Tigo (darek) kepada Belanda yang bersedia membantu mereka memerangi Kaum Paderi. Perjanjian itu diadakan di Padang di bawah sumpah menjunjung al-Qur’an dan disaksikan oleh Panglima Padang, Sutan Raja Mansyur Alamsyah, dan wakilnya, Tuanku Bandaro Rajo Johan (Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hlm. 409). Ikut ‘mengundang’ sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815—bukan 1803 seperti disebutkan oleh Parlindungan, 2007:136-41—(H.M.Lange, Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ’s Hertogenbosch: Gebroeder Muller,1852: I, hlm. 20-1).


Pada 25 April Sulit Air jauh ke tangan Kompeni setelah mereka sendiri menderita kerugian besar. “Aldus begon onze oorlog met de Padries” (Dengan demikian, peperangan kita dengan Kaum Paderi telah dimulai), demikian tulis seorang opsir Belanda yang tidak menyebutkan namanya (lihat: anonim, “Episoden uit geschiedenis der Nederlandsche krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus”, Indisch Magazijn 12/1, no.7, 1844:116). Namun, sejak awal 1833, perang itu berubah menjadi perang antara Kaum Adat dan Kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB, atau Naskah Tuanku Imam Bonjol)—lihat transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting mengenai Perang Paderi yang cenderung diabaikan para sejarawan selama ini—mencatat bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang dulunya bertentangan akhirnya bersatu melawan musuh bersama: Kompeni Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran bahwa mengundang Kompeni ke dalam konflik itu telah semakin menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.


Di dalam MTIB terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan Kaum Paderi terhadap sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar bahwa perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), demikian tulis TIB dalam MTIB (hlm.39). Sadar akan kekeliruan itu, TIB lalu mengirim kemenakannya, Fakih Muhammad, dan Tuanku Tambusai ke Mekah untuk belajar mengenai “kitabullah nan adil” (Hukum Kitabullah yang sebenarnya). Ikut juga kemenakan Tuanku Rao bernama Pakih Sialu, dan Kemenakan Tuanku Kadi (salah seorang rekan TIB) bernama Pakih Malano (MTIB, hlm. 36-40). Kemudian keempat orang itu pulang membawa berita yang kurang menggembirakan: Gerakan Wahabi di Mekah ternyata sudah dikalahkan dan yang berkembang di sana justru Islam yang lebih moderat. Oleh karenanya ide Haji Miskin yang telah membuat sesama orang Minangkabau dan tetangga Bataknya berbunuh-bunuhan telah invalid atau kadaluarsa. MITB (hlm. 53-55) selanjutnya mencatat bahwa setelah itu TIB kelihatan ingin lengser dari kepemimpinan Gerakan Paderi. Dalam sebuah rapat di Mesjid Bonjol TIB berkata kepada para hakim dan penghulu bahwa beliau ingin mengundurkan diri. TIB juga menginstruksikan supaya mengembalikan harta rampasan dan para tawanan perang. Namun rakyat yang sudah menganggap beliau sebagai pemimpin mereka mengharapkan TIB tetap memimpin perjuangan.


Tampaknya berita yang dibawa oleh Fakih Muhammad dan Tuanku Tambusai dari Mekah telah mempengaruhi semangat TIB, yang pada gilirannya ikut menentukan akhir Perang Paderi. Narasi dalam MTIB memberikan kesan bahwa TIB menyesal telah menjerumuskan rakyat Minangkabau dalam perang berdarah. Sekarang, dengan keterlibatan Belanda dengan persenjataannya yang lebih modern, perang itu telah sampai ke tahap yang paling kritis, yang kalau dilanjutkan hanya akan memakan korban orang Minangkabau lebih banyak lagi. TIB berada dalam dilemma. Ketika TIB menerima surat dari Kolonel Elout yang meminta Bonjol menyerah tanpa syarat, muncul perpecahan di kalangan pemimpin Paderi di benteng itu. Ada yang suka menyerah dan berdamai dengan Kompeni. Yang lain, seperti Datuk Sati, ingin melanjutkan peperangan. TIB sedih melihat perpecahan itu dan beliau serta keluarganya sempat mundur ke Lubuk Sikaping (MTIB, hlm. 61-4). Pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil direbut Kompeni setelah dikepung selama 6 bulan. Sebelum benteng itu jatuh, TIB dan keluarganya dibawa pergi oleh pengikut setianya masuk rimba. Proses pengepungan Benteng Bonjol pada bulan-bulan terakhir sebelum jatuh dicatat dengan detil, dilengkapi ilustrasi, oleh Kapten de Salis yang ikut dalam pasukan Mayor Jendral Cochius dalam “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis”, yang diterbitkan bersama tiga sumber pertama lainnya dalam buku Gerke Teitler, Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber]. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004), hlm.59-183.


Setelah ada jaminan dari Kolonel Elout bahwa penduduk Bonjol akan dihormati, TIB lalu menyerahkan diri kepada pasukan Kompeni. Ia menghadap Kapten Steinmetz di Bukittinggi, yang kemudian mengirimnya ke Padang. Sesampai di Padang, kapal yang akan membawa beliau ke tanah pembuangan telah lego jangkar di Pulau Cingkuk. Gubernur Francis tak memberi kesempatan kepada TIB untuk sekedar mengambil pakaian pengganti. Kapal berlayar menuju Jawa: TIB tinggal di Cianjur, sebelum kemudian dipindahkan ke Ambon, selanjutnya ke Menado di mana beliau wafat pada 1864. Api peperangan di Minangakabau belum sepenuhnya padam ketika TIB berlayar ke tanah pembuangan. Sisa pasukan Paderi yang tidak mau menyerah kepada Kompeni melanjutkan perjuangan. Begitu Bonjol direbut Kompeni, pasukan Eropa dan prajurit pribuminya sudah langsung melakukan tindakan yang membuat orang Bonjol berang dan merasa terhina: tentara Kompeni dan pasukan Jawanya mengubah “mesjid jadi tangsi tempat serdadu diam dan dibawanya anjing dan membikin kotor sajo [saja; Suryadi] di dalam mesjid“. Tentara Kompeni juga mengambil dari penduduk segala bahan makanan yang mereka perlukan tanpa mau membayar, dan menyuruh orang bekerja mengangkat segala perlatan militernya tanpa diberi upah. Pada puncak kemarahan orang Bonjol, mesjid itu diserang oleh penduduk yang mengakibatkan banyak kematian di antara 139 tentara Kompeni yang bermarkas di sana (MITB, hlm.69-70). Rupanya Kompeni tidak menepati janjinya untuk menghormati adat dan agama penduduk Bonjol, sebagaimana diminta oleh TIB kepada Kolonel Elout sebelum beliau menyerahkan diri.


Penyesalan TIB itu, dan perjuangan heroik beliau bersama pengikutinya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama kurang lebih enam bulan (16 Maret – 17 Agustus 1837)—seperti dilaporkan rinci oleh De Salis (op cit.)— mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB. Dalam bukunya, Greget Tuanku Rao (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007), Basyral Hamidi Harahap mempertanyakan kadar patriotisme TIB [dan Tuanku Tambusai] yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.


Kita bertanya di manakah jiwa kepahlawanan seorang yang telah banyak membunuh, menculik kaum perempuan untuk dijual sebagai budak atau dijadikan gundik di kalangan bangsa sendiri? […] Apakah seorang yang […] tidak [mampu] mempertahankan tanah tumpah darah sampai titik darah penghabisan […] dan menginjak-injak harkat dan martabat bangsa sendiri pantas menjadi pahlawan? […] Seorang patriot sejati, sekalipun terpojok pastilah tetap berjuang mempertahankan bumi persada sampai titik darah penghabisan. Tetapi yang dilakukan Tuanku Imam Bonjol adalah ikut merekayasa penyerahan dirinya kepada Belanda (Harahap 2007:106).


Jadi, menurut interpretasi Basyral, TIB merekayasa penyerahan dirinya sendiri kepada Belanda. Ia menganggap TIB tidak patriotis. Namun, berbeda dengan Basyral, Jeffrey Hadler—seperti terefleksi dalam kutipan di awal tulisan ini—mencoba ‘membaca’ lebih dalam dilema psikologis yang dialami TIB lebih 170 tahun yang lalu. Apalagi yang membuat seorang pemimpin agama menjadi lemah tulang persendiannya apabila akhirnya sadar bahwa semua yang telah dilakukannya ternyata telah menyalahi dogma-dogma agama yang begitu diyakininya selama ini, dan bahwa jika ia tetap ngotot dengan prinsipnya, maka hal itu hanya akan menumpahkan lebih banyak lagi darah bangsanya sendiri. Memang agak sulit untuk menilai dari jarak lebih satu setengah abad kemudian apakah tindakan TIB itu tidak patriotis atau malah bijaksana. Dalam pengungsiannya selama kurang-lebih empat bulan dalam rimba di luar Bonjol, bersama TIB dan keluarganya ikut delapan orang Jawa, sementara antara sesama orang Minang sendiri bersibak paham dalam menghadapi Belanda (MTIB, hlm. 151-53). Episode akhir Perang Paderi penuh dengan kisah tragis sekaligus mengharukan. Akan kita lihat nanti apakah sutradara film kolosal mengenai TIB yang akan diproduksi PT. Salsa Cemerlang Abadi Film (Republika, 27 Oktober 2007) mampu merefeksikan konflik batin yang dialami TIB itu? Perang, dimanapun terjadinya di dunia ini, adalah ranah dimana kelembutan hati dan kebengisan jiwa makhluk yang bernama manusia sering menampakkan wujudnya secara berbarengan. Mungkin karena itulah perang sering dikenang sekaligus dikutuk, dan untuk itulah monumen-menumen didirikan.


MTIB, menurut Hadler (op cit.), merefleksikan […] the Tuanku’s [TIB] renunciation of Wahhabism in the face of matriarchal opposition […]“. “In his memoir the Tuanku Imam’s will to fight his fellow Minangkabau crumbles when he learns that Wahhabi teachings have been discredited. In an act of great moral bravery the Tuanku publicly renounces his ideology, makes reparations, and apologizes for the suffering his war has caused. In his memoir Imam Bonjol’s enemies respond formulaically, looking to him as a patron. But there remains some ambiguity and even anger in their reported language. They demand that the Tuanku Imam replace their elders, people likely killed by the Padri in their war against traditional authority, and it unclear whether the Tuanku Imam is to appoint replacements or to personally take the place of the people he was responsible for killing. In his wish for peace the Tuanku uses the term dituahnya. This is a form of royal blessing usually delivered by the sorts of nobles that the Padri had hoped to eliminate. The Tuanku Imam restores the status quo ante bellum, confining religious authority to matters of shariah and allowing customary leaders to adjudicate social issues. He proclaims that ‘adat basandi syarak”—hariah will be fundamental, even in questions of social custom” (Hadler, op cit.: 1, 16-17).


Seorang tokoh seperti TIB muncul, eksis, dan kemudian ‘runtuh’ oleh kombinasi antara keinginan, takdir, dan kehendak zaman. Ada yang menganggap beliau telah “berkhianat pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagaruyung, […] memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan” banyak orang, “[…] menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X“, seperti yang dituduhkan si pembuat petisi yang telah disebutkan di atas. Tapi mungkin ada juga yang melihat beliau, yang dalam MTIB menunjukkan rasa penyesalan, sebagai ikon perlawanan masyarakat Minangkabau yang belakangan baru sadar akan buruknya akibat yang ditimbulkan oleh penjajahan Belanda di negeri mereka. Sejarah adalah cermin perbandingan dan iktibar. Dengan mempelajari dan mengenang peristiwa-peristiwa masa lalu, baik dan buruk, manusia dapat memetik hikmah supaya mereka dapat menata hidupnya yang lebih baik di masa depan. Dalam konteks perjuangan dan kesilapan yang dialami TIB dalam hidupnya, kiranya relevan penulis kutipkan di sini kata-kata intelektual Minang, Prof. Dr. Bahder Djohan:


Tiada hadjat kita akan mengembang kitab tambo jang ditoelis dengan darah itoe [Perang Paderi; Suryadi], tiada bermaksoed kita akan menoeroeti djedjaknja sendjata api jang bertahoen-tahoen lamanja itoe bergemoeroeh didalam lembah dan dataran [Minangkabau], hanja disini kita mengenangkan sedikit meréka-meréka jang bertjahaja sebentar didalam zaman Paderi, jang seperti sinar dilangit meroepakan [memperlihatkan; Suryadi] diri dimata kita jang sedang memandangi koeblat jang hidjau itoe soepaja dapatlah poela kita mengetahoeï[,] masja allah, jang terdjadi diabad jang lepas, jang selama-lamanja akan mendjadi ‘ibarat kesesatan kemanoesiaan” (Djohan, “Zaman Paderi”, Jong Sumatra, No.1, 2de Jrg., 15 Djanuari 1919: 113).


Di hari-hari terakhirnya di Minangkabau, TIB diusung di atas tandu oleh rakyat dalam perjalanannya dari Bukittinggi ke Padang menuju tanah pembuangan (MTIB, hlm.176-78). Walau sudah dalam tawanan Belanda keyakinan agama TIB tak goyah: “Jikalau tidak boleh berhenti sembahyang apa gunanya hidup, lebih baik mati“, demikian kata beliau kepada tentara Belanda yang melarangnya berhenti untuk shalat Zuhur ketika tandu usungan sampai di Kayu Tanam (MTIB hlm.176). Kini terserah kepada Bangsa Indonesia—bangsa-bangsa lain jelas tak ambil pusing—apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi-gerasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.

(c) Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleding Talen en Culturen van Indonesië, Faculteit der Letteren Universiteit Leiden, Belanda


Tidak ada komentar:

Posting Komentar