Konsepsi keteladanan dalam Islam sudah mendapatkan rumusan yang cukup jelas, terutama bila dihubungkan dengan proses pembelajaran. Rasulullah sendiri sebagai figur sentral di dalam Islam adalah merupakan rujukan utama (sumber keteladanan) kehidupan muslim. Hadis-hadis, sebagai warisan Rasulullah yang berupa perkataan dan perbuatannya, adalah sumber normatif (hukum dan nilai-nilai) bagi pembentukan prilaku dan tatanan sosial umat Islam. Firman Allah : “Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah”. Kita menyadari, bahwa semua aspek normatif kehidupan muslim ditujukan untuk mendapatkan suatu tata kehidupan yang baik (hasanah), tidak saja untuk kehidupan dunia, terlebih lagi untuk kehidupan kelak di akhirat. Ini merupakan tujuan akhir dari proses pembelajaran dalam Islam. Proses ini dituntut harus berlangsung terus menerus, dapat dilakukan di mana saja dan dalam situasi apapun : “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilallahdi” dan “Uthlubul’ilma walau bishshiin” dan seterusnya, demikian pesan Rasulullah.
Sistem pendidikan merupakan salah satu bentuk proses pembelajaran yang menuntut berbagai prasyarat keberlangsungan serta tercapainya sasaran yang diinginkan, sementara guru adalah merupakan titik sentral dalam mekanisme proses belajar-mengajar dalam sistem pendidikan itu. Dalam Islam, guru, selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan terhadap anak didik (ta’lim), sekaligus juga harus mampu memberi keteladanan dalam rangka tranformasi nilai-nilai terhadap mereka (tarbiyyah). Dalam mentransfer ilmu pengetahuan, guru dituntut harus memiliki kecakapan, penguasaan keilmuan serta keterampilan dalam penyampaiannya. Sementara itu, dalam mentransformasikan nilai-nilai, guru harus dapat menunjukkan prilaku-prilaku, sikap dan sifat-sifat yang terpuji sesuai norma-norma yang berlaku dalam ajaran Islam itu sendiri.
Telah dikemukakan bahwa sebagai figur sentral kepribadian muslim adalah Rasulullah. Ia merupakan acuan dalam setiap aspek kehidupan. Transformasi nilai-nilai kehidupan Rasulullah merupakan wujud dari proses pembelajaran dalam Islam. Oleh karena itu, pewarisan nilai-nilai kehidupan Rasulullah dalam bentuk keteladanan merupakan bagian mutlak dari suatu lembaga pendidikan Islam. Proses pewarisan itu berjalan terus menerus dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi melalui figur-figur ‘ulama yang oleh Rasulullah sendiri dipercayakan sebagai pewarisnya. Kata Rasulullah : “Al’ulama` waratsatul anbiya`. Melalui pengajaran, pendidikan dan keteladanan ulama itulah, proses pewarisan itu harus tidak terhenti. Oleh karena itu pula, proses regenerasi ulama harus tetap berjalan. Atas dasar itu, para ulama kita di masa lalu berupaya untuk melahirkan gagasan-gagasan dan berjuang untuk terwujudnya lembaga pendidikan sebagai wahana untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan transformasi nilai-nilai keIslaman di tengah-tengah masyarakat. Melalui lembaga pendidikan, sosialisasi nilai-nilai berjalan sedemikian rupa, karena ditunjang oleh berbagai perangkat serta suasana yang memungkinkan para generasi didik dapat mengembangkan kepribadiannya sesuai tuntunan agama. Pribadi-pribadi yang memiliki kematangan dalam ilmu dan kemapanan sikap dan prilaku untuk kemudian dituntut mewariskan pada generasi berikutnya.
Apa yang kita kemukakan itu, sebenarnya adalah prinsip yang berlaku dalam sistem pendidikan Madrasah yang dikembangkan oleh ulama-ulama kita di Sumatera Barat masa lalu. Suatu sistem pendidikan yang tidak hanya sekedar melahirkan generasi yang berilmu, namun juga memiliki karakteristik kepribadian yang layak dipanut dan diteladani oleh lingkungan sosial di mana ia berada. Pribadi yang mempuyai kemampuan mentransfer dan mentransformasikan nilai-nilai keIslaman di tengah-tengah masyarakat untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal dan agamis. Spesifikasi yang dimiliki oleh model pendidikan seperti inilah yang membedakan sistem pendidikan Islam dengan pendidikan-pendidikan sekuler lainnya.
Syekh Soelaiman Ar-Rasuly atau yang lebih dikenal dengan panggilan “Inyiak Canduang” cukup dikenal di mana-di mana. Beliau adalah sosok tokoh pendidikan yang telah melahirkan banyak ulama, cendikiawan serta tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Oleh karena itu, keberadaan beliau sebagai tokoh pendidik, ulama, dan pejuang mempunyai arti yang sangat besar bagi masyarakat, agama dan bangsa ini dalam rentang waktu yang bahkan melampaui masa hidupnya sendiri. Bahkan hingga saat ini masih dirasakan keberadaannya, tidak hanya oleh masyarakat Sumatera Barat, Indonesia, bahkan juga di negara-negara tetangga. Sebagai tokoh pendidik, beliau telah mewariskan suatu model sistem pendidikan yang prospektif dan masih -atau bahkan- sangat relevan dengan realitas masa kini. Model sistem yang dimaksud -pada dasarnya- bertolak dari tujuan asasi pendidikan itu sendiri yaitu menempatkan faktor manusia pada posisi kemanusiaannya, bukan sebaliknya menjadikan mereka sebagai “mesin-mesin” dengan orientasi kehidupan duniawiyah semata. Apa yang kita sebut terakhir inilah yang menjadi fenomena pendidikan modern dewasa ini. Sehingga tidak heran, banyak kalangan intelektual Islam kemudian mencoba mencari alternatif model sistem pendidikan pesantren, sebagai yang kita saksikan sangat menjamur di pulau Jawa saat ini.
Kenyataan terakhir yang dirasakan sangat ironis ialah banyaknya kalangan masyarakat Sumatera Barat yang mengirim anak-anak mereka belajar ke pesantren-pesantren di luar Sumatera Barat sendiri. Pada hal, kenyataan dulu adalah sebaliknya. Keadaan ini tentu mengundang pertanyaan : Apakah kita telah terlalu banyak kehilangan masalalu kita?, apakah kita hari ini tidak lagi mampu menjadi pewaris pendahulu kita?, ataukah kita secara naif telah mengingkari nasehat dan amanat yang mereka tinggalkan untuk kita?, atau mungkin kita yang terlalu bodoh untuk memahami mereka?, Semua pertanyaan ini tentu perlu kita renungkan kembali, karena bukan tidak mungkin, orang lain diluar kita akan mengajukan pertanyaan yang sama terhadap kita. Gus Dur dalam kunjungannya ke Sumatera Barat Januari tahun 2000 lalu mengemukakan bahwa “Orang Minangkabau dulu banyak melahirkan gagasan-gagasan segar dan gagasan itu telah menjadi inspirasi oleh banyak orang di luar Minang sendiri”. Ucapan yang bernada pujian ini justru mengisyaratkan tantangan bagi orang Minangkabau sekarang. Bertolak dari kenyataan itulah, agaknya kita perlu untuk kembali meluruskan orientasi kita di sini, terutama dalam mengemban amanah pendidikan “Sang Maha Guru” kita Syekh Sulaiman Arrasuli. Kita sebagai pelanjut perjuangannya perlu kembali mencoba untuk memahami dan mengerti cita-cita dan obsesinya dalam sistem pendidikan yang telah dirintisnya ini. Zaman boleh berubah, namun kita jangan kehilangan arah. Inilah agaknya yang tersirat dari amanah “Sang Maha Guru” itu, sebagai dinukilkan pada nisan pusaranya yang berbunyi “Teruskan membina Tarbiyah sesuai dengan pelajaran yang kuberikan”.
Bila kita mau lebih arif untuk memahami ketokohan “Inyiak Canduang”, tentu kita merasa berkewajiban untuk bercermin kepada pola-pola yang dulu pernah beliau laksanakan dalam menata sistem pendidikan ini. Pola-pola mana diakui sangat efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Diantara pola umum yang beliau terapkan adalah seperti dalam metode pengajaran, beliau telah menerapkan langkah-langkah efektif, seperti : muthala’ah (membaca dan memahami), muzakarah (diskusi), muhafazhah (hafalan), dan tathbiq (aplikasi teoritis) dan ditambah lagi dengan metode pelatihan yang disebut dengan muhadharah (keterampilan) dan praktek mengajar (praktikum). Metode pendidikan ini diselenggarakan secara terpadu dengan menerapkan sistem-sistem pendukung, seperti dengan menempatkan murid-murid pada pemondokan yang telah diatur sedemikian rupa. Ini dutujukan agar para murid itu mendapatkan bimbingan dari senior-senior mereka yang sekaligus berfungsi sebagai tutor dalam menyempurnakan pelajaran pada malam hari.
Kita mengetahui, bahwa Inyiak Canduang sangat konsisten dengan pendirian, namun tidak anti kemajuan. Perubahan dari sistem halaqah ke sistem klassikal yang beliau lakukan pada tahun 1928, telah membuktikan bahwa beliau sangat respek dengan pembaharuan. Namun kukuh dalam memegang prinsip-prinsip dasar yang menjadi ciri ketokohan beliau, karena itu, materi pengajaran yang diberikan disekolah ini tetap dipertahankan untuk selalu menggunakan standard Syafi’iyyah. Selain itu, yang lebih mengesankan dari keteladanan Inyiak Canduang ialah strategi yang digunakannya dalam menempatkan Madrasah yang beliau asuh ini, tetap berada di hati masyarakat. Beliau sangat menyadari bahwa beliau menjadi besar karena masyarakat, oleh karenanya, sekolah yang beliau dirikan juga akan besar karena masyarakat. Pertimbangan ini pulalah yang menyebabkan kenapa beliau sangat mempertimbangkan “faktor masyarakat” dalam strategi pendidikannya. Ini dapat dilihat seperti bagaimana beliau mengerahkan murid-murid untuk bergotong royong bersama masyarakat, melibatkan murid-murid untuk kegiatan-kegiatan sosial baik suka maupun duka, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat betul-betul merasakan eksistensi Madrasah ini di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, akan dengan sendirinya masyarakatpun merasa memiliki dan berkewajiban untuk memelihara dan membesarkannya.
Terlalu banyak yang perlu kita telusuri dari kehidupan Syekh Sulaiman Arrasuli, terutama menyangkut sikap, prilaku serta nilai-nilai yang terdapat pada pribadi beliau. Diantaranya dapat dilihat dari performan (penampilan) ciri kepemimpinan yang beliau tunjukkan, seperti konsisten (istiqamah), kemampuan beradaptasi yang begitu besar terhadap lingkungan, kemampuan untuk memanfaatkan peluang dalam keadaan sulit sekalipun, cara berfikir ekonomis dan masih banyak lagi kalau kita sebut satu persatu. Semua itu tentunya kalau kita mau jujur untuk mengakui serta meneladani ketokohan beliau. Kita akan bercermin dari itu semua, bila kita tidak mau berkhianat terhadap amanah yang telah beliau berikan. Demikianlah paparan singkat yang lebih merupakan pemikiran dan kesaksian seorang murid terhadap seorang guru yang bertolak atas kesadaran dan amanah pengajaran yang pernah diterima. Semoga akan bermanfaat dalam melanjutkan cita-cita besar yang telah beliau canangkan. La’allallahu yahdiina ila shirathin mustaqim.
(c) H. Amran Shamad Malin Panduko/source: minangmadany.co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar