Oleh : Muhammad Ilham
Ulama dikenal sebagai pemimpin umat Islam bukan saja dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial kemasyarakatan. Secara normatif, ulama dianggap sebagai pewaris nabi, kehadiran seorang ulama tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep komunitas Islam atau apa yang biasa disebut ummah, yaitu komunitas kaum beriman yang diikat oleh kesamaan pandangan tentang kesucian, moral dan spritual. Sebagai ikatan kaum beriman, ummah dapat pula dianggap sebagai komunitas-kognitif, dimana keyakinan transedental dan pengetahuan individu mendapatkan konfirmasi sosial. Oleh sebab itu, ulama tidak hanya bisa dilihat dari segi apa yang dikerjakannya dan karakteristik pribadi, tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah sejauh mana ummah (minimal komunitasnya) memberikan pengakuan kepadanya – atau dalam bahasa sosiologisnya : bagaimana komunitas social-nya memberikan justifikasi sosial (termasuk dalam bidang-bidang lain.
Dalam menegakkan eksistensi dan meneruskan cita-cita ummah, seorang ulama dapat dianggap sebagai "perumus realitas" (definer of reality) tentang apakah yang riil dan bukan serta yang esensial dan aksidental serta sebagai penerus pengetahuan, terutama tentang apa yang dirumuskan oleh teks-teks suci. Dalam konteks ini, eksistensi dan tugas ulama sangat penting dan berat. Sebab dalam melakukan fungsinya, ia harus selalu berhadapan dengan masalah waktu yang selalu beralih dan tempat yang berbeda. Hal ini menuntut kemampuan ulama untuk menjadikan agar simbol dan idiom agama menemukan relevansinya dalam ruang sosial (social sphere) yang berlainan dan dimensi waktu (time dimention) yang beralih, agar ulama mampu menjaga dan mengayomi serta diakui eksistensi mereka oleh komunitas Islam dimana mereka berada.
Sebagai pemimpin komunitas Islam, ulama mempunyai tanggung jawab dalam merumuskan nilai-nilai dasar Islam itu ke dalam realitas sosial ummatnya, sehingga ummat dapat di bimbing dan diarahkan sesuai dengan ajaran Islam. Semua ini memperlihatkan bahwa ulama merupakan bagian dari kelompok sosial yang memiliki peranan besar dan signifikan dalam mempengaruhi arah dan perkembangan suatu masyarakat. Sejarah telah membuktikan, khususnya sejarah sosial politik Indonesia, bahwa kalangan ulama merupakan kelompok sosial yang memiliki potensi kepemimpinan yang besar sebagai perumus realitas dan penentu arah perkembangan suatu kelompok sosial.
Kepemimpinan ulama itu berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika peran yang terjadi dalam masyarakat. Secara sosiologis-antropologis, perkembangan atau dinamika peran tersebut terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern atau dari masyarakat mekanik kepada masyarakat organik. Secara otomatis, fungsi dan peranan ulama sebagai salah satu pemimpin masyarakat Islam dengan sendirinya juga ikut berubah bila masyarakat Islam tersebut berubah kepada arah masyarakat modern. Beberapa kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peran yang dialami oleh ulama sekarang dengan ulama masa dahulu. Pada masa lalu, ulama tidak hanya dianggap sebagai pemimpin agama saja tetapi juga memiliki peran diluar pemimpin agama bagi masyarakat, khususnya dalam urusan duniawi. Ulama sering ikut menangani permasalahan-permasalahan dalam bidang pertanian, perdagangan, kesehatan dan ketertiban masyarakat, seperti mengobati orang sakit, sebagai penasehat kejiwaan dan menjaga keamanan.
Minangkabau sebagai salah satu sub-etnik dalam stratum etnik makro melayu Nusantara, dikenal sebagai komunitas sosial yang dalam proses pembentukan identitas kultural dan sosial politik mereka, sangat dipengaruhi oleh kalangan ulama. Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Suku bangsa ini, mempunyai alur sejarah penyebaran penduduk yang unik dan dijelaskan “agak” mistik atau penuh dengan cerita “carito” yang dituangkan dalam “kitab” yang diberi dengan “tambo”. Dalam sistem kepemimpinan dikenal dengan tripartit kekuasaan yang satu sama lain terintegrasi dalam musyawarah dan mufaka, tripartit terdiri dari ulama, umara dan cerdik pandai. Islam – apalagi setelah di-justifikasi secara cultural, dianggap sebagai sesuatu yang include-tak terpisahkan dari adat itu sendiri. Ini termanifestasi dalam dictum “sakti” adat Minangkabau yaitu Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Trimingham dan Taufik Abdullah melihat bahwa penyebaran Islam di dalam masyarakat manapun, termasuk di Nusantra melalui tiga tahapan penyebaran agama Islam, yaitu :
1. Tahap Pertama
Oleh Trimingham tahap pertama di namakannya dengan tahap kangah, sedangkan Taufik Abdullah dinamakan adanya varian Pasai. Pada tahap pertama ini, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam, yang terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam tahap ini, dimonasi perkenalan ajaran Islam adalah masalah hukuman dan balasan Tuhan terhdap perbuatan yang dilakukan manusia. Kiyai atau ulama dan Tuanku lebih intens memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap awal ini, tariqat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya. Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer dikemukakan sebelum terjadinya pembaruan di Minangkabau, banyak ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan, seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak didengar.
Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena Islam datang tidak secara meliterisme yang tegas, tetapi Islam datang dengan lunak dan jinak. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan magis, Islam seperti ini Menurut Gellner, lebih populer disebut dengan folk Islam atau low Islam atau populer Islam. Jika dalam dokrin Islam skriptual ditekankan pentingnya literasi dalam folk Islam dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan magis dari pada kepentingan ke ilmuan. Singkatnya folk Islam lebih menekankan magis dari pada Ilmu; ekstasi daripada pengalaman ketentuan-ketentuan hukum Islam. Institusi terpenting folk Islam adalah perikatan-perikan longgar-tetapi eksklusif yang berpusat dari seorang individu yang nyaris dipandang suci, sehingga sering menciptakan kultus indvidu. Kondisi fiolk Islam ini, menyebabkan ulama, kiyai atau Tuanku sering memainkan banyak peran, selain sebagai dikenal tokoh agama ia juga diyakini sebagai tabib, peramal dan seterusnya, sehingga pengikutnya meyakini literasi yang dikuasai oleh ulama dapat dipergukana sebagai kekuatan magis. Maka ulama sering didatangi pengikutnya tidak saja berkaitan dengan masalah ke Islam-an tetapi juga menyangkut, kemagisan yang dimiliki oleh ulama tersebut. Dengan keserbabisaan ulama ini, maka ulama atau kiyai itu dikultuskan, bahkan ada yang menyebut nabi. Di Minangakabu kultus itu pun juga ada, seperti kultus terhadap aliran tariqat. Seorang ulama, mempunyai otoritas terhadap suatu tariqat, misalnya ulama Ulakan, yang dipelopori oleh Burhanuddin biasanya dikultuskan oleh pengikutnya sebagai orang “suci” dalam tariqat tersebut, dan ia bisa dimintai petunjuk dalam masalah apa saja.
Secara garis besar, ada dua pendapat yang bisa dipegang tentang kapan masuknya Islam ke Minangkabau, pertama pendapat Hamka yang menyatakan Islam telah masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7 Masehi. Pendapat Hamka ini, bisa dikuatkan melalui sejarah perdagangan orang Arab ke berbagai belahan dunia. Khusus, masalah masuknya Islam awal ke Minangkabau, sebagaimana diceritakan dalam catatan sejarah klasik Mubalighul Islam disebutkan pada dasarnya Islam telah masuk ke Minangkabau pada tahun 580 H. Masuknya Islam ini diawali dari sejarah terdamparnya saudagar Arab di perairan Minangkabau, yang kemudian menemukan perkempungan penduduk. Sudagar itu bernama Saidi Abdullah. Mereka diterima oleh penduduk dan sebagai anggota masyarakat. Melalui Saidi Abdullah ini pula Islam diperkenalkan kepada keluarga yang menerimanya. Kemudian kawin dengan putri kepala Dusun yang konon kepala dusun tersebut berasal dari keturuna raja Pagaruyung. Dusun yang dihuni dan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam itu adalah kampung durian yang terletak dipinggir kota Padang Sebelah Timur. Namun, setelah Saidi Abdullah meninggal, maka terjadi kekosongan-kekosongan penyebaran Islam, bahkan masyarakat kembali kepada agama lamanya. Sementara itu ada yang menyebutkan pada abad ke-13 Masehi seiring dengan penguniversalan masuknya Islam di Nusantara ditandainya dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Namun, dalam perkembangan Islam di Minangkabau, selanjutnya ditandai dengan diperintahnya kerajaan Pagaruyung oleh Raja Sultan Alif yang beragama Islam pada abad 16-M.
Beberapa kajian sejarah masuknya Islam atau periode awal Islam di Minangkabau, umumnya lebih terfokus pada peran Burhanuddin, setelah ia kembali menuntut ilmu bersama seorang guru di Aceh yang bernama Al-Kalani Amin bin Abd Rauf Singkil Al-Jawi bin Al-Fansyuri. Kehadiran Burhanuddin, pada masa awal ini disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau, namun jika menilik pada alur sejarah, sebelum itu Islam sudah hadir di Minangkabau tetapi akibat tidak adanya survivalisme maka agama Islam dalam pengamalan masyarakat Minangkabau mengalami pasang surut. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.
Pada masa ini, surau sangat identik dengan ulama. Ulama melangsungkan pendidikan dan membentuk jemaah di surau. Bentuk pendidikan yang dilangsungkan sederhana. Namun, dalam catatan sejarah pendidikan di Minangkabau, pendidikan surau belum terlihat dikalsifikasikan seperti halnya perkembangan pondok pesantren di Jawa. Di Jawa kata Soedjoko Prasodjo, ada lima pola pesantren mulai dari sederhana sampai pada yang modern. Lima pola itu adalah :
1. Pola I yaitu pesantren terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai.
2. Pola II terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok.
3. Pola III, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan madrasah.
4. Pola IV, yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan.
5. Pola V yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrsah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
Pendidikan surau Burhanuddin sama dengan pola surau besar (masjid-pondok), rumah kiyai dan surau kecil (tempat keterampilan dan penginapan). Surau besar, bisanya surau tempat berlangsungnya pendidikan secara bersama, ulama mengajar disini, ia sekaligus menjadi pemilik surau. Sedangkan surau kecil yakni, tempat tinggal santri. Di surau kecil ini berlangsung juga pendidikan, dimana murid yang senior mengajarkan murid yunior atas persetujuan ulama (guru). Di surau kecil ini santri tingal sehari-hari dan di surau kecil ini pula murid melakukan berbagai aktivitas untuk mematangkan dirinya.
2. Tahap Kedua
Dalam tahap penyebaran Islam kedua oleh Trimingham dinamakan dengan tahap tariqah. Dalam perpektif Trimingham, pada fase ini berkembang aliran-aliran mistis dan diiringi dengan munculnya pendidikan sufi. Di sini literasi masih banyak dipergunakan dalam kepentingan mistik, ketimbang kepentingan keilmuan. Namun, dalam fase ini sudah mulai muncul kelompok konservatif dari generasi pertama. Kelompok konsevatif tidak siap menerima fenomena keberagamaan yang sinkretisme. Bagi mereka agama dipahami sesuai dengan informasi literasi, mungkin gerakan pembaruan dan pemurinian Islam yang dilakukan oleh Wahabi, bisa diletakkan dalam konteks ini.
Peran ulama, terpecah menjadi dua, yakni ulama yang beraliran folk Islam dan ulama konservatif. Ulama konsevatif di Minangkabau disebut ulama pembaharu. Ulama konservatif lahir, setelah terjadinya kontak Minangkabau dengan Mekkah, hal ini terjadi sekitar tahun 1784 - 1803 atau disebut juga dengan Gerakan Kebangkitan Islam pertama di Minangkabau. Kontak ke Islaman ini terus terjadi, apalagi setelah adanya pengaruh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy (1863-1915) terhadap generasi muda Minangkabau untuk menuntut ilmu di Mekkah. Pada masa ini, di dunia Islam terjadi gerakan pembahruan Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792). Gerakan ini, lebih kental disebut dengan gerakan pemurnian Islam, di kalangan umat Islam Minangkabau kelompok pemurnian dikenal dengan ulama konservatif Hariamau Nan Salapan Kelompok ini melihat, bahwa Islam di kalangan masyarakat Minangkabau masih bercampur aduk antara adat kebiasaan yang sinkretisme dengan ajaran Islam, oleh sebab itu diperlukan pemurnian ajaran Islam, yang disebut dengan puritan. Gerakan puritan, secara langsung atau tidak langsung menjadi cikal bakal pergerakan nasionalis.
Diberbagai daerah penyebaran Islam, pada umumnya ada tokoh sentral yang mempengaruhi diterimanya Islam sebagai agama oleh masyarakat. Tokoh sentral ini, sangat penting artinya. Ia adalah figur yang dikultuskan sebagai agent of knowledge. Dalam masa pembaruan-pemurnian Islam di Minangkabau, agaknya tokoh kunci ini tidak terlepas peranannya. Pada proses penyebaran Islam ke dua ini, lebih disebut dengan proses puritanisasi. Puritanisasi ini dalam catatan sejarah Minangkabau, menjadi bakal gerakan nasionalisme yang tergabung dalam gerakan Paderi. Kelompok puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji ke ranah Minang. Diantaranya Haji Miskin, ia pergi ke Mekkah dengan teman-temannya, ketika itu berlangsung gerakan pemurnian. Gerakan ini menjadi inspirasi pergerakan, sehingga kepulangannya di ranah Minang bergema gerakan pemurnian Islam. Semula, gerakan yang dilakukan oleh Haji Miskin ini tidak bisa diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago. Di samping itu, kekerasan Haji Miskin, sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang frontal, misalnya Haji Miskin dan pengikut pernah terlibat perkelahian dengan kelompok yang yang tidak sealiran dengannya. Dalam perkelahian ini, kelompoknya kalah dan Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang.
Walaupun puritanisasi sering gagal dan sering tidak diterima oleh masyarakat, namun pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya, menemukan seorang teman yang selairan dengannya (yang menerima gerakan pemurinian) yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini, nampaknya pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar untuk menegakan syariat Islam dengan mencontoh tatanan Wahabi, dalam kotbahnya selalu menyerukan jihad yang terintegral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya ini dengan membunuh kakak perempuan ibunya, gara-gara mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat. Kemudian, gerakan militannya menjalar menembus pembasmian parktik-praktik jahiliyah lainnya yang masih mengkontaminasi masyarakat.
Gerakan-gerakan puritanisasi ini, kelihatannya secara bertahap mulai bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau. Terutama, ditandai dengan berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan puritanisasi juga mulai merambah menjadi gerakan perjuangan, melawan strategi penjajahan Belanda, maka kemudian terbentuklah gerakan Paderi, yang secara terorganisir-sistematik (setidaknya untuk zaman ini) terlihat ketika Tuanku Imam Bonjol berjuang dalam menentang penjajahan Belanda. Menurut Schrike seperti dikutip Taufik Abdullah menyatakan bahwa gerakan Paderi ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dalam hirarki sosial. Revolusi ini, tidak sia-sia. Selanjutnya dikatakan Taufik Abdullah semakin mengokohkan Islam di Minangkabau, bahkan mencoba menstrukturisasi kepimpinan dalam Islam dengan formulasi islamisasi.
Dalam istilah Greetz, revolusi itu sebutnya sebagai revolusi skriptualisme. Menurut Geerz, kaum revolusiner skriptualisme ini di nusantra menjadi cikal bakal pergerakan perjuangan untuk kemederdekaan bangsa. Inilah yang terpenting dalam gerakan keagamaan sebelum kemerdekaan, di Indonesia. Bahwa kemerdekaan sangat besar dipengaruhi oleh move achievment kaum skriptualisme. Peran ulama, mempunyai doble legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran ajaran agama di tengah umatnya, yang kedua ulama mengambil peran sebagai kelompok integritas kebangsaan. Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan puritanisasi di Minangkabau – Jihad hati dan jihad lidah dan tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci.
Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa salah satu tuga utama agama adalah memodifikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya Max Weber, Robert N. Bellah, Karen Amstrong dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya(semuanya terangkum dalam koloborasi makna modernisasi). Durkheim juga mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Richardson disebutnya sebagai felt whole – “perasaan kemenyeluruhan” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.
Weber melihat, modernisasi ekonomi lahir dari etika protestan. Bellah juga menemukan, kemajuan politik, budaya di jepang tidak dapat dilepaskan dari sprit Tokugawa. Di Nusantara kata Geertz agama telah memberikan move perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Ini merupakan fakta sosial yang telah dijenearal dalam teori ilmuan. Namun, yang terpenting di sini adalah aktor atau “penabuh” inspirator agama itu, inilah yang dinamakan dengan missionaris atau ulama dalam kancah keislaman. Dalam masyarakat Kristen misalnya, Calvin bisa dikatakan sebagai agent atau aktor yang sangat berjasa dalam memoderniskan pengikut agama tersebut. Menurut Calvin, umat kristen harus mengungkapkan keimanan mereka dengan cara ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik, bukannya dengan cara menyepi di biara. Al kitab bukanlah berisi sekedar informasi tersurat tentang geografi atau kosmologi, Al kitab berusaha memberikan kebenaran hakiki dalam bahasa yang bisa dipahami nalar manusia yang terbatas.
Fenomena itu, memberikan isyarat umat agama sering terjebak kedalam kontek pemahaman literasi yang picik, oleh sebab itu para agamawan atau ulama haru memodernisasi pemahaman kedalam konteks yang sui generis, sehingga agama tidak terasing di tengah perubahan masyarakatnya. Akibat pemahaman literasi yang sempit itulah, barangkali para pengikut Marx mendefenisikan agama ke dalam defenisi yang diskursus domana agama dituding sebagai candu masyarakat. Ketika inilah dibutuhkan “penerangan” agama holistik dan terintegral, dimana agama tidak hanya sebagai “penenang jiwa” tetapi juga harus dijelaskan sebagai sumber dari tata sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam, perkembangan sains sudah mulai dibentangkan, dimana agama membenarkan dan memberikan informasi sains tersebut, kewajiban pengikutnyalah untuk mengolah informasi tersebut. Semenjak diterima filsafat dalam kahazanah perkembangan sains Islam, setidaknya sudah terlihat kearah pembuktian keholistikan dan keintegralan pemahaman ajaran agama tersebut. Bagaimana, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd dan seterusnya membuktikan kehadapan publik bahwa agama tidak hanya berkutik dalam “ranah” penyepian-kontemplatif yang hanya membicarakan alam setelah mati, tetapi agama juga sarat dengan firman Tuhan yang membangun hidup kekinian.
Namun, karena umat membangun agama itu sebagai “monumen” yang sudah final dan tidak bisa diutak-atik lagi, menyebabkan pemahanan terhadap informasi yang ada dalam literasi, agak kaku dan bahkan cendrung diterima apa adanya, tidak diberi hermeneutik, sehingga menyebabkan agama terasa kaku dan tidak “mengerti’ dengan konteks zaman. Di sinilah ketertinggalan komunitas, ia lebih membicarakan firman Tuhan sebagai konteks “penenang” jiwa, ketimbang menjadi sumber dari sains dan ilmu pengetahuan, seperti kasus folk Islam yang dijelaskan Gellner. Proses modernisasi, dalam merubah identional diperoleh melalui dua cara : Pertama, melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dpengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sjech Taher Djalaluddin, Syech Muhammad Djamil Djembek, Inyiak Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, dan Abdullah Ahmad.
Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam ini, ketertinggalan umat islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir. Di samping itu, enggan menerima pluralitas sebagai khazanah dan fitrah budaya. Kemudian, menjadikan perbedaan sebagai konfrontatif yang melelahkan. Setting kelompok modernis Islamisasi, tidak terjebak dalam pemikiran ke Islaman yang sempit, biasanya lebih mementingkan kesimbangan pemahaman tariqah dengan syariah. Tariqah merupakan pemahaman keagaman menuju kekayaan bathiniah, sedangkan syariah adalah hukum yang harus didekonstruksi oleh Islam dalam kehidupannya. Perpaduan ini lebih tepat disebut dengan keseimbangan antara eksotoritik dengan esotorik. Dalam hal ini, yang lebih tegas dilakukan oleh kelompok modernis Islami adalah meletakan Islam sebagai idologi atau pardigma dalam tranformasi sosial. Tugas ini lah yang harus dilakukan oleh agamwan atau ulama.
Tidak semua ulama yang dapat menjalankan missi tersebut. Tugas ini, kemudian banyak diambil alih oleh kelompok akademisi, yang terdidik dan menaruh perahtian terhadap Islam. Era ini di Minangkabau sangat terlihat pada zamannya Hamka, Muhammad Hatta dengan gerakan ekonomis-sosialis Islam. Modernisasi Islam, dipahami sebagai paradigma pemikiran umat Islam, bukan membangun defenisi Islam yang baru. Di lihat dari alur pemikiran lahirnya, paradigma ini disebabkan ketidak “relaan” kelompok pemikir ini terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam itu sendiri dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata. Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini, sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam ini lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan, bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern di Minangkabau.
Modernisasi Islam, lebih menekankan pada pembentukan karakteristik umat Islam untuk memanifestasikan hidup dengan konteks keberagamaan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran dan sisitem pendidikan agama yang signifikan terhadap tujuan tersebut. Maka dalam modernisasi awal ini, sangat kentara terjadinya pembaharuan-pembaharuan isntitusi, organisasi ke Islaman, seperti lahirnya madrasah-madrasah dengan pola modernis dan munculnya organisasi plat form Islam. Di Minangkabau, dimulai dengan menukar sistem surau yang tardisional dengan sistem pendidikan modern, yang mengenal kelasikan, berijazah dan memiliki kurikulum yang terarah. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Eksistensi sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau.
Pada masa modernisasi Islam awal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan ulama untuk membangun ke Islaman umat, yakni pendekatan pendidikan dan pendekatan pergerakan. Pendekatan pendidikan; lebih tertuju pada perubahan idetional dalam generasi muda. Sedangkan pendekatan pergerakan, di dalamnya tercakup pembentukan jemaah dan institusi Islam yang progresiv, seperti organisasi-organisasi ke Islaman. Pendidikan yang dikelola oleh ulama-ulama konservatif ini, setidaknya telah melahirkan peta pemikiran ke Islaman Minangkabau sekaligus terjadinya pergeseran pemikiran Islam dari folk Islam ke modernisasi Islam. Lahirnya madrasah-madrasah modernis ini, secara langsung atau tidak langsung jelas menjadikan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan. Sementara itu, ulama pada masa modernisasi Islam ini terbagi menjadi dua kutup, yakni ulama kaum muda dan kaum tua. Ulama kaum muda yakni ulama-ulama modernis dan konservatif, biasanya ulama-ulama punya view oriented, dan mereka terpengaruh oleh konsep-konsep pembaruan dari luar. Sementara kaum tua, ulama yang masih bertahan dengan konsep-konsep surau masa lalu, serta masih mempertahankan tradisi ritualisasi-ritualisasi keguruan.
Bagi kelompok ulama modernisasi Islam, agama itu diaplikasikan secara realistis. Agama ditujukan untuk pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dalam masa awal ini, konseptual itu belum sepenuhnya terkembang, karena masih terkendala oleh sistem penjajahan. Di samping itu, madrasah-madrasah yang dikembangkan hanya baru bergerak dengan sistem pendidikan yang teoritik keagamaan dan belum dilengkapi dengan skill education. Akibatnya, ketika terjadi perubahan terutama berkembangnya pasar dalam sistem ekonomi masyarakat Minangkabau, alumni surau-madrasah sulit mengikut perkembangan ini. Inilah salah satu kelemahan. Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadikan surau sebagai tempat ritualisasi Islam, kemudian berkembang sebagai tempat pendidikan. Di institusi inilah, revilisme mpemikiran Islam pertama berlangsung di Minangkabau. Surau sebagai akademis ilmu agama orang Minang. Surau menjadi media diffusi Islam. Ulama-ulama mendirikan surau sebagai tempat penyebaran Islam. Murid-murid yang telah selesai menempuh pendidikan pun mendirikan surau di kampung halamnnya, sehingga Islam di Minangkabau cepat diakses oleh masyarakat. Sekaligus surau semakin populer sebagai media penyebaran Islam, dan yang penting adalah surau telah membentuk karakteristik masyarakat Minangkabau. Gelombang surau ini, merupakan tonggak sejarah pemikiran Islam di Minangkabau. Dari surau ulama-ulama membangun think tank Islam. Surau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan dan pemikiran ke Islaman orang Minangkabau. Corak dan karakteristik surau sangat ditentutakan oleh otoritas ulama surau. Ulama sebagai pemilik surau membangun tradisi suraunya secara tersendiri. Bahkan surau sangat identik dengan corak pemikiran ke Islaman seorang ulama. Otoritas keulamaan ini kentara terlihat dalam tariqat yang diamalkan oleh ulama tersebut.
Dengan tradisi tariqat ini pula sangat mudah mencari link antara surau yang satu dengan lainnya. Surau-surau yang mempunyai aliran traiqat syatariah akan berhubungan dan berkaitan secara emosional dengan penganut traiqat yang sama, begitu pula dengan surau yang menjalankan traiqat naqsyabandiah akan terus menjalin hubungan dengan surau yang sealiran dengannya. Keterkaitan aliran surau ini sangat mudah menjejaki tradisi ke Islaman yang berkembang pada surau, karena link pemikiran dan tradisi yang berkembang selalu menurut alur tradisi guru terdahulu. Tradisi guru menjadi panutan dan dikembangkan oleh murid atau pengikut-pengikut selanjutnya. Diffusi ini secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tingkat pengamalan keislaman masyarakat
Pada masa ini ada dua kekuatan mendasar membangun tradisi pemikiran ke Islaman di minangkabau, pertama tradisi pendidikan surau dan kedua tradisi tariqat. Pada tradisi pendidikan surau, ulama adalah guru secara akademik, yang memberikan transfer knowledge. Yakni memberikan pengetahuan ke Islaman kepada murid-muridnya dengan sistem pendidikan kesurauan, atau dengan sistem salaf. Ulama di Minangkabau pada masa-masa awal sangat terkait dengan tariqat. Tariqat suatu jalan menuju kedekatan dengan Allah. Tariqat di Minangkabau pertama kali di bawa oleh Burhanuddin dari setalah berguru di Aceh, kemudian suraunya di ulakan menjadi otortitas tariqat syatariah di Minangkabau. Tariqat, biasanya tidak terpaut pada guru dan murid saja tetapi sudah menyebar kedalam jemaah. Tariqat lebih banyak bersentuhan dengan bathin, dalam ritualisasinya diimami oleh ulama yang memiliki aliran tariqat baik naqsyabandiah maupun satariyah. Tariqat mempunyai ritualisasi ibadah salah satunya dinamakan dengan suluk. Di Minangkabau, ulama pertama kali mewarisi ilmunya di surau, Surau, dalam masa perkembangannya sekitar abad ke-18 dan ke-19 Masehi, merupakan laboratorium pendidikan bagi orang Minang. Ulama sekaligus pemiliki surau. Biasanya surau memiliki ciri khas ke ilmuan tersendiri, sesuai dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama pemilik surau tersebut.
Sampai saat ini, sistem tradisional masih dijalani oleh ulama-ulama surau. Diantaranya, bisa ditemukan beberapa surau di daerah Pariaman sebagai wilayah pesisir dari alam Minangkabau. Di sini seorang ulama yang bergelar Tuanku mengajar di surau, dengan sistem yang belum berubah. Mata pelajarannya dan buku literatur yang dipakai pun masih seperti yang lama. Life style, kehidupan santrinya pun “ala” surau, yakni bermukim di surau. Santri diajak mandiri. Di samping itu, santri diperbolehkan untuk berjalan keliling untuk minta sedekah, dengan satu karung kain yang disandangnya. Di tengah masyarakat mereka di juluki oleh masyarakat dengan sebutan fakih atau orang surau. Malahan atribut mereka ini, menyimbolkan kesurauan.
Di Minangkabau ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun building karakteristik Minangkabau yang berasaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Bansandi Kitabullah. Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama sekali melalui institusi pendidikan surau. Pendidikan dalam pergerakan eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbangsih, yakni sebagai penyebaran aliran, ajaran agama Islam, dan kedua sebagai penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini, kemudian menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat link guru dengan murid tidak terputus dan dapat ditelusuri. Dalam kultur link seperti ini, sangat mempercepat penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau dan secara tidak langsung, mereka ini kemudian juga memiliki kontribusi sebagai penggerak ”pendulum” sejarah nasional Indonesia.
Dalam sejarah, banyak ulama Minangkabau yang tercatat dalam tinta emas sebagai "penggerak" arah sejarah nasional Indonesia yang berwibawa serta dihormati. Sebutlah diantaranya seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi -- ulama terkemuka asal Minangkabau yang mendapat pengakuan internasional dalam sejarah sebagai "guru besar" mazhab Syafii di Masjidil Haram pada masanya. Banyak murid-muridnya yang menyebar dan mentransfer ilmu ke beberapa negara seperti Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura (Temasek) dan Thailand Selatan (Pattani, Narathiwat dan Yala). Disamping itu juga dikenal ulama-ulama lain seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Abbas Padang Japang, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Djamil Djaho, Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Dotor dan anaknya HAMKA serta banyak lagi ulama-ulama lainnya yang memiliki pengaruh seperti mereka dalam masing-masing kecenderungan bidang yang mereka dalami, minimal untuk skala yang bersifat lokal. Sebagai bukti ilmiah, sudah banyak buku yang telah diterbitkan serta penelitian ilmiah yang dilakukan oleh berbagai kalangan.
Dalam perkembangan tradisi ilmiah, khususnya penelitian mengenai ulama-ulama Minangkabau, terlihat kecenderungan bahwa penulisan buku ilmiah ataupun penelitian yang dilakukan terfokus kepada riwayat hidup (include : vieuw world, dinamika zaman, pola transfer ilmu, hubungan guru-murid) ulama-ulama yang memiliki pengaruh atau "nama" skala nasional atau lintas geo-kultural. Sedangkan penelitian ilmiah serta penulisan buku tentang pengaruh ulama-ulama lokal sangat jarang dilakukan. Kalaupun itu ada, selalu bersifat parsial dan individual. Padahal, secara epistimologis, keberadaan dan kebesaran ulama-ulama kaliber nasional dan internasional Minangkabau diatas bisa diterima dengan melihat beberapa indikator, salah satunya adalah diaspora (penyebaran) pengaruhnya yang terlihat dari seberapa banyak murid-murid yang mereka miliki. Melalui murid-murid mereka inilah akan terjadi pula diaspora pengaruh keilmuan ulama itu sendiri. Pada umumnya, murid-murid ulama-ulama besar Minangkabau yang dikenal dalam sejarah terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat yang secara pengaruh, umumnya masih bersifat lokal, akan tetapi secara substansi mereka tetap sebagai definer of reality dalam masing-masing komunitas mereka. Mereka juga dianggap sebagai – atau dalam istilah atau term sosiologi – kelompok ataupun strata yang memiliki pengaruh signifikan, walaupun bersifat lokal-spasial.
Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada kajian Biografis sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu sejarah. Kajian biografis Ulama Sumatera Barat tersebut akan menjawab hal-hal sebagai berikut :
1. Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat.
2. Peranan sosial, budaya, politik, agama, keilmuan dan peran lainnya dalam realitas sosial dimana ulama tersebut berperan dan berkiprah.
3. Identitas personal dan pola konflik aliran ulama.
4. Responsibilitiy ulama terhadap masalah di lingkungan sosialnya.
Sedangkan batasan penelitian ini dibagi kepada tiga batasan, yaitu batasan waktu dan batasan spasial serta batasan tematik. Batasan waktu, difokuskan kepada waktu sebelum Paderi hingga akhir berakhirnya rezim Orde Baru dengan penekanan bahwa ulama yang menjadi kajian penelitian ini telah meninggal dunia. Untuk melihat jaringan pemikiran, jaringan guru-murid serta diaspora pemikirannya, batasan waktu ini sangat panjang. Dalam waktu yang demikian panjang tersebut, diasumsikan terdapat begitu banyak ulama-ulama historis yang tidak bisa tidak, harus diteliti. Untuk mensiasati hal tersebut, dalam rentang waktu panjang ini, 30 ulama akan dipilih sebagai ”pusat analisis” yang pada akhirnya akan melibatkan interaksi historis-intelektual banyak ulama-ulama yang lain. Sedangkan batasan spasialnya adalah area historis tempat ulama tersebut lahir dan melakukan interaksi intelektual serta interaksi guru-murid.
Sedangkan dalam batasan tematiknya, penelitian ini diarahkan pada riwayat hidup ulama yang difokuskan kepada Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat, Peranan sosial, budaya, politik, agama, keilmuan dan peran lainnya dalam realitas sosial dimana ulama tersebut berperan dan berkiprah, Identitas personal dan pola konflik aliran ulama dan Responsibilitiy ulama terhadap masalah di lingkungan sosialnya. Dalam penelitian ini tidak seluruh daerah diperlakukan sama, tergantung intensitas kegiatan ulama pada masing-masing daerah. Bisa saja, salah satu daerah menjadi "pusat" dari hubungan guru-murid dan aliran keagamaan maupun institusi yang mereka anut. Penelitian ini memiliki nilai penting dan strategis :
1. Secara akademik-historis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi epistimologis – untuk memperkaya capaian-capaian epistimologis kajian-kajian terdahulu – terutama yang menyangkut tentang pola dan jaringan eksistensi ulama-ulama Minangkabau, baik dalam aspek jaringan keilmuan, jaringan guru-murid, jaringan tareqah dan jaringan-jaringan fungsi dan peran lainnya yang ”dimainkan” oleh ulama-ulama pada zamannya sesuai dengan fungsi dan peran ideal seorang ulama serta bentuk transfer ilmu dan pemahaman keilmuan ”kezamanan” pada ulama yang diteliti tersebut hidup dan berperan. Hal ini akan memberikan kontribusi besar dalam melihat pengaruh seorang ulama dalam membentuk mainstream pemikirannya yang secara langsung ataupun tidak langsung juga memberikan kontribusi untuk membentuk mainstream sejarah Minangkabau itu sendiri.
2. Secara normatif-kultural, mayoritas ”nilai-nilai bernas” sejarah panjang Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari eksistensi ulama. Ulama menjadi salah satu icon sejarah Minangkabau. Diktum ”Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” akan mendapat tempat yang lebih ”kuat dan rasional” ketika sejarah ulama-ulama di teliti. Oleh karena itu, penelitian yang menyangkut riwayat hidup ulama sangat penting dilakukan. Apalagi hal ini kemudian lebih difokuskan kepada pola dan jaringan serta persebaran pengaruh.
3. Secara empirik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ”bahan mentah” atau ”bahan dasar” untuk melahirkan sebuah buku yang – setidaknya untuk sebuah ikhtiar – yang agak komprehensif-integral mengenai ulama-ulama Minangkabau.
Ulama dikenal sebagai pemimpin umat Islam bukan saja dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial kemasyarakatan. Secara normatif, ulama dianggap sebagai pewaris nabi, kehadiran seorang ulama tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan konsep komunitas Islam atau apa yang biasa disebut ummah, yaitu komunitas kaum beriman yang diikat oleh kesamaan pandangan tentang kesucian, moral dan spritual. Sebagai ikatan kaum beriman, ummah dapat pula dianggap sebagai komunitas-kognitif, dimana keyakinan transedental dan pengetahuan individu mendapatkan konfirmasi sosial. Oleh sebab itu, ulama tidak hanya bisa dilihat dari segi apa yang dikerjakannya dan karakteristik pribadi, tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah sejauh mana ummah (minimal komunitasnya) memberikan pengakuan kepadanya – atau dalam bahasa sosiologisnya : bagaimana komunitas social-nya memberikan justifikasi sosial (termasuk dalam bidang-bidang lain.
Dalam menegakkan eksistensi dan meneruskan cita-cita ummah, seorang ulama dapat dianggap sebagai "perumus realitas" (definer of reality) tentang apakah yang riil dan bukan serta yang esensial dan aksidental serta sebagai penerus pengetahuan, terutama tentang apa yang dirumuskan oleh teks-teks suci. Dalam konteks ini, eksistensi dan tugas ulama sangat penting dan berat. Sebab dalam melakukan fungsinya, ia harus selalu berhadapan dengan masalah waktu yang selalu beralih dan tempat yang berbeda. Hal ini menuntut kemampuan ulama untuk menjadikan agar simbol dan idiom agama menemukan relevansinya dalam ruang sosial (social sphere) yang berlainan dan dimensi waktu (time dimention) yang beralih, agar ulama mampu menjaga dan mengayomi serta diakui eksistensi mereka oleh komunitas Islam dimana mereka berada.
Sebagai pemimpin komunitas Islam, ulama mempunyai tanggung jawab dalam merumuskan nilai-nilai dasar Islam itu ke dalam realitas sosial ummatnya, sehingga ummat dapat di bimbing dan diarahkan sesuai dengan ajaran Islam. Semua ini memperlihatkan bahwa ulama merupakan bagian dari kelompok sosial yang memiliki peranan besar dan signifikan dalam mempengaruhi arah dan perkembangan suatu masyarakat. Sejarah telah membuktikan, khususnya sejarah sosial politik Indonesia, bahwa kalangan ulama merupakan kelompok sosial yang memiliki potensi kepemimpinan yang besar sebagai perumus realitas dan penentu arah perkembangan suatu kelompok sosial.
Kepemimpinan ulama itu berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika peran yang terjadi dalam masyarakat. Secara sosiologis-antropologis, perkembangan atau dinamika peran tersebut terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern atau dari masyarakat mekanik kepada masyarakat organik. Secara otomatis, fungsi dan peranan ulama sebagai salah satu pemimpin masyarakat Islam dengan sendirinya juga ikut berubah bila masyarakat Islam tersebut berubah kepada arah masyarakat modern. Beberapa kajian terdahulu yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peran yang dialami oleh ulama sekarang dengan ulama masa dahulu. Pada masa lalu, ulama tidak hanya dianggap sebagai pemimpin agama saja tetapi juga memiliki peran diluar pemimpin agama bagi masyarakat, khususnya dalam urusan duniawi. Ulama sering ikut menangani permasalahan-permasalahan dalam bidang pertanian, perdagangan, kesehatan dan ketertiban masyarakat, seperti mengobati orang sakit, sebagai penasehat kejiwaan dan menjaga keamanan.
Minangkabau sebagai salah satu sub-etnik dalam stratum etnik makro melayu Nusantara, dikenal sebagai komunitas sosial yang dalam proses pembentukan identitas kultural dan sosial politik mereka, sangat dipengaruhi oleh kalangan ulama. Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Suku bangsa ini, mempunyai alur sejarah penyebaran penduduk yang unik dan dijelaskan “agak” mistik atau penuh dengan cerita “carito” yang dituangkan dalam “kitab” yang diberi dengan “tambo”. Dalam sistem kepemimpinan dikenal dengan tripartit kekuasaan yang satu sama lain terintegrasi dalam musyawarah dan mufaka, tripartit terdiri dari ulama, umara dan cerdik pandai. Islam – apalagi setelah di-justifikasi secara cultural, dianggap sebagai sesuatu yang include-tak terpisahkan dari adat itu sendiri. Ini termanifestasi dalam dictum “sakti” adat Minangkabau yaitu Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Trimingham dan Taufik Abdullah melihat bahwa penyebaran Islam di dalam masyarakat manapun, termasuk di Nusantra melalui tiga tahapan penyebaran agama Islam, yaitu :
1. Tahap Pertama
Oleh Trimingham tahap pertama di namakannya dengan tahap kangah, sedangkan Taufik Abdullah dinamakan adanya varian Pasai. Pada tahap pertama ini, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam, yang terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam tahap ini, dimonasi perkenalan ajaran Islam adalah masalah hukuman dan balasan Tuhan terhdap perbuatan yang dilakukan manusia. Kiyai atau ulama dan Tuanku lebih intens memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap awal ini, tariqat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya. Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer dikemukakan sebelum terjadinya pembaruan di Minangkabau, banyak ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan, seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak didengar.
Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena Islam datang tidak secara meliterisme yang tegas, tetapi Islam datang dengan lunak dan jinak. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan magis, Islam seperti ini Menurut Gellner, lebih populer disebut dengan folk Islam atau low Islam atau populer Islam. Jika dalam dokrin Islam skriptual ditekankan pentingnya literasi dalam folk Islam dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan magis dari pada kepentingan ke ilmuan. Singkatnya folk Islam lebih menekankan magis dari pada Ilmu; ekstasi daripada pengalaman ketentuan-ketentuan hukum Islam. Institusi terpenting folk Islam adalah perikatan-perikan longgar-tetapi eksklusif yang berpusat dari seorang individu yang nyaris dipandang suci, sehingga sering menciptakan kultus indvidu. Kondisi fiolk Islam ini, menyebabkan ulama, kiyai atau Tuanku sering memainkan banyak peran, selain sebagai dikenal tokoh agama ia juga diyakini sebagai tabib, peramal dan seterusnya, sehingga pengikutnya meyakini literasi yang dikuasai oleh ulama dapat dipergukana sebagai kekuatan magis. Maka ulama sering didatangi pengikutnya tidak saja berkaitan dengan masalah ke Islam-an tetapi juga menyangkut, kemagisan yang dimiliki oleh ulama tersebut. Dengan keserbabisaan ulama ini, maka ulama atau kiyai itu dikultuskan, bahkan ada yang menyebut nabi. Di Minangakabu kultus itu pun juga ada, seperti kultus terhadap aliran tariqat. Seorang ulama, mempunyai otoritas terhadap suatu tariqat, misalnya ulama Ulakan, yang dipelopori oleh Burhanuddin biasanya dikultuskan oleh pengikutnya sebagai orang “suci” dalam tariqat tersebut, dan ia bisa dimintai petunjuk dalam masalah apa saja.
Secara garis besar, ada dua pendapat yang bisa dipegang tentang kapan masuknya Islam ke Minangkabau, pertama pendapat Hamka yang menyatakan Islam telah masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7 Masehi. Pendapat Hamka ini, bisa dikuatkan melalui sejarah perdagangan orang Arab ke berbagai belahan dunia. Khusus, masalah masuknya Islam awal ke Minangkabau, sebagaimana diceritakan dalam catatan sejarah klasik Mubalighul Islam disebutkan pada dasarnya Islam telah masuk ke Minangkabau pada tahun 580 H. Masuknya Islam ini diawali dari sejarah terdamparnya saudagar Arab di perairan Minangkabau, yang kemudian menemukan perkempungan penduduk. Sudagar itu bernama Saidi Abdullah. Mereka diterima oleh penduduk dan sebagai anggota masyarakat. Melalui Saidi Abdullah ini pula Islam diperkenalkan kepada keluarga yang menerimanya. Kemudian kawin dengan putri kepala Dusun yang konon kepala dusun tersebut berasal dari keturuna raja Pagaruyung. Dusun yang dihuni dan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam itu adalah kampung durian yang terletak dipinggir kota Padang Sebelah Timur. Namun, setelah Saidi Abdullah meninggal, maka terjadi kekosongan-kekosongan penyebaran Islam, bahkan masyarakat kembali kepada agama lamanya. Sementara itu ada yang menyebutkan pada abad ke-13 Masehi seiring dengan penguniversalan masuknya Islam di Nusantara ditandainya dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Namun, dalam perkembangan Islam di Minangkabau, selanjutnya ditandai dengan diperintahnya kerajaan Pagaruyung oleh Raja Sultan Alif yang beragama Islam pada abad 16-M.
Beberapa kajian sejarah masuknya Islam atau periode awal Islam di Minangkabau, umumnya lebih terfokus pada peran Burhanuddin, setelah ia kembali menuntut ilmu bersama seorang guru di Aceh yang bernama Al-Kalani Amin bin Abd Rauf Singkil Al-Jawi bin Al-Fansyuri. Kehadiran Burhanuddin, pada masa awal ini disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau, namun jika menilik pada alur sejarah, sebelum itu Islam sudah hadir di Minangkabau tetapi akibat tidak adanya survivalisme maka agama Islam dalam pengamalan masyarakat Minangkabau mengalami pasang surut. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.
Pada masa ini, surau sangat identik dengan ulama. Ulama melangsungkan pendidikan dan membentuk jemaah di surau. Bentuk pendidikan yang dilangsungkan sederhana. Namun, dalam catatan sejarah pendidikan di Minangkabau, pendidikan surau belum terlihat dikalsifikasikan seperti halnya perkembangan pondok pesantren di Jawa. Di Jawa kata Soedjoko Prasodjo, ada lima pola pesantren mulai dari sederhana sampai pada yang modern. Lima pola itu adalah :
1. Pola I yaitu pesantren terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai.
2. Pola II terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok.
3. Pola III, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan madrasah.
4. Pola IV, yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan.
5. Pola V yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrsah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
Pendidikan surau Burhanuddin sama dengan pola surau besar (masjid-pondok), rumah kiyai dan surau kecil (tempat keterampilan dan penginapan). Surau besar, bisanya surau tempat berlangsungnya pendidikan secara bersama, ulama mengajar disini, ia sekaligus menjadi pemilik surau. Sedangkan surau kecil yakni, tempat tinggal santri. Di surau kecil ini berlangsung juga pendidikan, dimana murid yang senior mengajarkan murid yunior atas persetujuan ulama (guru). Di surau kecil ini santri tingal sehari-hari dan di surau kecil ini pula murid melakukan berbagai aktivitas untuk mematangkan dirinya.
2. Tahap Kedua
Dalam tahap penyebaran Islam kedua oleh Trimingham dinamakan dengan tahap tariqah. Dalam perpektif Trimingham, pada fase ini berkembang aliran-aliran mistis dan diiringi dengan munculnya pendidikan sufi. Di sini literasi masih banyak dipergunakan dalam kepentingan mistik, ketimbang kepentingan keilmuan. Namun, dalam fase ini sudah mulai muncul kelompok konservatif dari generasi pertama. Kelompok konsevatif tidak siap menerima fenomena keberagamaan yang sinkretisme. Bagi mereka agama dipahami sesuai dengan informasi literasi, mungkin gerakan pembaruan dan pemurinian Islam yang dilakukan oleh Wahabi, bisa diletakkan dalam konteks ini.
Peran ulama, terpecah menjadi dua, yakni ulama yang beraliran folk Islam dan ulama konservatif. Ulama konsevatif di Minangkabau disebut ulama pembaharu. Ulama konservatif lahir, setelah terjadinya kontak Minangkabau dengan Mekkah, hal ini terjadi sekitar tahun 1784 - 1803 atau disebut juga dengan Gerakan Kebangkitan Islam pertama di Minangkabau. Kontak ke Islaman ini terus terjadi, apalagi setelah adanya pengaruh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy (1863-1915) terhadap generasi muda Minangkabau untuk menuntut ilmu di Mekkah. Pada masa ini, di dunia Islam terjadi gerakan pembahruan Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792). Gerakan ini, lebih kental disebut dengan gerakan pemurnian Islam, di kalangan umat Islam Minangkabau kelompok pemurnian dikenal dengan ulama konservatif Hariamau Nan Salapan Kelompok ini melihat, bahwa Islam di kalangan masyarakat Minangkabau masih bercampur aduk antara adat kebiasaan yang sinkretisme dengan ajaran Islam, oleh sebab itu diperlukan pemurnian ajaran Islam, yang disebut dengan puritan. Gerakan puritan, secara langsung atau tidak langsung menjadi cikal bakal pergerakan nasionalis.
Diberbagai daerah penyebaran Islam, pada umumnya ada tokoh sentral yang mempengaruhi diterimanya Islam sebagai agama oleh masyarakat. Tokoh sentral ini, sangat penting artinya. Ia adalah figur yang dikultuskan sebagai agent of knowledge. Dalam masa pembaruan-pemurnian Islam di Minangkabau, agaknya tokoh kunci ini tidak terlepas peranannya. Pada proses penyebaran Islam ke dua ini, lebih disebut dengan proses puritanisasi. Puritanisasi ini dalam catatan sejarah Minangkabau, menjadi bakal gerakan nasionalisme yang tergabung dalam gerakan Paderi. Kelompok puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji ke ranah Minang. Diantaranya Haji Miskin, ia pergi ke Mekkah dengan teman-temannya, ketika itu berlangsung gerakan pemurnian. Gerakan ini menjadi inspirasi pergerakan, sehingga kepulangannya di ranah Minang bergema gerakan pemurnian Islam. Semula, gerakan yang dilakukan oleh Haji Miskin ini tidak bisa diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago. Di samping itu, kekerasan Haji Miskin, sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang frontal, misalnya Haji Miskin dan pengikut pernah terlibat perkelahian dengan kelompok yang yang tidak sealiran dengannya. Dalam perkelahian ini, kelompoknya kalah dan Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang.
Walaupun puritanisasi sering gagal dan sering tidak diterima oleh masyarakat, namun pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya, menemukan seorang teman yang selairan dengannya (yang menerima gerakan pemurinian) yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini, nampaknya pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar untuk menegakan syariat Islam dengan mencontoh tatanan Wahabi, dalam kotbahnya selalu menyerukan jihad yang terintegral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya ini dengan membunuh kakak perempuan ibunya, gara-gara mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat. Kemudian, gerakan militannya menjalar menembus pembasmian parktik-praktik jahiliyah lainnya yang masih mengkontaminasi masyarakat.
Gerakan-gerakan puritanisasi ini, kelihatannya secara bertahap mulai bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau. Terutama, ditandai dengan berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan puritanisasi juga mulai merambah menjadi gerakan perjuangan, melawan strategi penjajahan Belanda, maka kemudian terbentuklah gerakan Paderi, yang secara terorganisir-sistematik (setidaknya untuk zaman ini) terlihat ketika Tuanku Imam Bonjol berjuang dalam menentang penjajahan Belanda. Menurut Schrike seperti dikutip Taufik Abdullah menyatakan bahwa gerakan Paderi ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dalam hirarki sosial. Revolusi ini, tidak sia-sia. Selanjutnya dikatakan Taufik Abdullah semakin mengokohkan Islam di Minangkabau, bahkan mencoba menstrukturisasi kepimpinan dalam Islam dengan formulasi islamisasi.
Dalam istilah Greetz, revolusi itu sebutnya sebagai revolusi skriptualisme. Menurut Geerz, kaum revolusiner skriptualisme ini di nusantra menjadi cikal bakal pergerakan perjuangan untuk kemederdekaan bangsa. Inilah yang terpenting dalam gerakan keagamaan sebelum kemerdekaan, di Indonesia. Bahwa kemerdekaan sangat besar dipengaruhi oleh move achievment kaum skriptualisme. Peran ulama, mempunyai doble legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran ajaran agama di tengah umatnya, yang kedua ulama mengambil peran sebagai kelompok integritas kebangsaan. Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan puritanisasi di Minangkabau – Jihad hati dan jihad lidah dan tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci.
Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa salah satu tuga utama agama adalah memodifikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya Max Weber, Robert N. Bellah, Karen Amstrong dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya(semuanya terangkum dalam koloborasi makna modernisasi). Durkheim juga mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Richardson disebutnya sebagai felt whole – “perasaan kemenyeluruhan” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.
Weber melihat, modernisasi ekonomi lahir dari etika protestan. Bellah juga menemukan, kemajuan politik, budaya di jepang tidak dapat dilepaskan dari sprit Tokugawa. Di Nusantara kata Geertz agama telah memberikan move perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Ini merupakan fakta sosial yang telah dijenearal dalam teori ilmuan. Namun, yang terpenting di sini adalah aktor atau “penabuh” inspirator agama itu, inilah yang dinamakan dengan missionaris atau ulama dalam kancah keislaman. Dalam masyarakat Kristen misalnya, Calvin bisa dikatakan sebagai agent atau aktor yang sangat berjasa dalam memoderniskan pengikut agama tersebut. Menurut Calvin, umat kristen harus mengungkapkan keimanan mereka dengan cara ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik, bukannya dengan cara menyepi di biara. Al kitab bukanlah berisi sekedar informasi tersurat tentang geografi atau kosmologi, Al kitab berusaha memberikan kebenaran hakiki dalam bahasa yang bisa dipahami nalar manusia yang terbatas.
Fenomena itu, memberikan isyarat umat agama sering terjebak kedalam kontek pemahaman literasi yang picik, oleh sebab itu para agamawan atau ulama haru memodernisasi pemahaman kedalam konteks yang sui generis, sehingga agama tidak terasing di tengah perubahan masyarakatnya. Akibat pemahaman literasi yang sempit itulah, barangkali para pengikut Marx mendefenisikan agama ke dalam defenisi yang diskursus domana agama dituding sebagai candu masyarakat. Ketika inilah dibutuhkan “penerangan” agama holistik dan terintegral, dimana agama tidak hanya sebagai “penenang jiwa” tetapi juga harus dijelaskan sebagai sumber dari tata sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam, perkembangan sains sudah mulai dibentangkan, dimana agama membenarkan dan memberikan informasi sains tersebut, kewajiban pengikutnyalah untuk mengolah informasi tersebut. Semenjak diterima filsafat dalam kahazanah perkembangan sains Islam, setidaknya sudah terlihat kearah pembuktian keholistikan dan keintegralan pemahaman ajaran agama tersebut. Bagaimana, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd dan seterusnya membuktikan kehadapan publik bahwa agama tidak hanya berkutik dalam “ranah” penyepian-kontemplatif yang hanya membicarakan alam setelah mati, tetapi agama juga sarat dengan firman Tuhan yang membangun hidup kekinian.
Namun, karena umat membangun agama itu sebagai “monumen” yang sudah final dan tidak bisa diutak-atik lagi, menyebabkan pemahanan terhadap informasi yang ada dalam literasi, agak kaku dan bahkan cendrung diterima apa adanya, tidak diberi hermeneutik, sehingga menyebabkan agama terasa kaku dan tidak “mengerti’ dengan konteks zaman. Di sinilah ketertinggalan komunitas, ia lebih membicarakan firman Tuhan sebagai konteks “penenang” jiwa, ketimbang menjadi sumber dari sains dan ilmu pengetahuan, seperti kasus folk Islam yang dijelaskan Gellner. Proses modernisasi, dalam merubah identional diperoleh melalui dua cara : Pertama, melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dpengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sjech Taher Djalaluddin, Syech Muhammad Djamil Djembek, Inyiak Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, dan Abdullah Ahmad.
Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam ini, ketertinggalan umat islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir. Di samping itu, enggan menerima pluralitas sebagai khazanah dan fitrah budaya. Kemudian, menjadikan perbedaan sebagai konfrontatif yang melelahkan. Setting kelompok modernis Islamisasi, tidak terjebak dalam pemikiran ke Islaman yang sempit, biasanya lebih mementingkan kesimbangan pemahaman tariqah dengan syariah. Tariqah merupakan pemahaman keagaman menuju kekayaan bathiniah, sedangkan syariah adalah hukum yang harus didekonstruksi oleh Islam dalam kehidupannya. Perpaduan ini lebih tepat disebut dengan keseimbangan antara eksotoritik dengan esotorik. Dalam hal ini, yang lebih tegas dilakukan oleh kelompok modernis Islami adalah meletakan Islam sebagai idologi atau pardigma dalam tranformasi sosial. Tugas ini lah yang harus dilakukan oleh agamwan atau ulama.
Tidak semua ulama yang dapat menjalankan missi tersebut. Tugas ini, kemudian banyak diambil alih oleh kelompok akademisi, yang terdidik dan menaruh perahtian terhadap Islam. Era ini di Minangkabau sangat terlihat pada zamannya Hamka, Muhammad Hatta dengan gerakan ekonomis-sosialis Islam. Modernisasi Islam, dipahami sebagai paradigma pemikiran umat Islam, bukan membangun defenisi Islam yang baru. Di lihat dari alur pemikiran lahirnya, paradigma ini disebabkan ketidak “relaan” kelompok pemikir ini terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam itu sendiri dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata. Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini, sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam ini lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan, bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern di Minangkabau.
Modernisasi Islam, lebih menekankan pada pembentukan karakteristik umat Islam untuk memanifestasikan hidup dengan konteks keberagamaan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran dan sisitem pendidikan agama yang signifikan terhadap tujuan tersebut. Maka dalam modernisasi awal ini, sangat kentara terjadinya pembaharuan-pembaharuan isntitusi, organisasi ke Islaman, seperti lahirnya madrasah-madrasah dengan pola modernis dan munculnya organisasi plat form Islam. Di Minangkabau, dimulai dengan menukar sistem surau yang tardisional dengan sistem pendidikan modern, yang mengenal kelasikan, berijazah dan memiliki kurikulum yang terarah. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Eksistensi sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau.
Pada masa modernisasi Islam awal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan ulama untuk membangun ke Islaman umat, yakni pendekatan pendidikan dan pendekatan pergerakan. Pendekatan pendidikan; lebih tertuju pada perubahan idetional dalam generasi muda. Sedangkan pendekatan pergerakan, di dalamnya tercakup pembentukan jemaah dan institusi Islam yang progresiv, seperti organisasi-organisasi ke Islaman. Pendidikan yang dikelola oleh ulama-ulama konservatif ini, setidaknya telah melahirkan peta pemikiran ke Islaman Minangkabau sekaligus terjadinya pergeseran pemikiran Islam dari folk Islam ke modernisasi Islam. Lahirnya madrasah-madrasah modernis ini, secara langsung atau tidak langsung jelas menjadikan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan. Sementara itu, ulama pada masa modernisasi Islam ini terbagi menjadi dua kutup, yakni ulama kaum muda dan kaum tua. Ulama kaum muda yakni ulama-ulama modernis dan konservatif, biasanya ulama-ulama punya view oriented, dan mereka terpengaruh oleh konsep-konsep pembaruan dari luar. Sementara kaum tua, ulama yang masih bertahan dengan konsep-konsep surau masa lalu, serta masih mempertahankan tradisi ritualisasi-ritualisasi keguruan.
Bagi kelompok ulama modernisasi Islam, agama itu diaplikasikan secara realistis. Agama ditujukan untuk pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dalam masa awal ini, konseptual itu belum sepenuhnya terkembang, karena masih terkendala oleh sistem penjajahan. Di samping itu, madrasah-madrasah yang dikembangkan hanya baru bergerak dengan sistem pendidikan yang teoritik keagamaan dan belum dilengkapi dengan skill education. Akibatnya, ketika terjadi perubahan terutama berkembangnya pasar dalam sistem ekonomi masyarakat Minangkabau, alumni surau-madrasah sulit mengikut perkembangan ini. Inilah salah satu kelemahan. Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadikan surau sebagai tempat ritualisasi Islam, kemudian berkembang sebagai tempat pendidikan. Di institusi inilah, revilisme mpemikiran Islam pertama berlangsung di Minangkabau. Surau sebagai akademis ilmu agama orang Minang. Surau menjadi media diffusi Islam. Ulama-ulama mendirikan surau sebagai tempat penyebaran Islam. Murid-murid yang telah selesai menempuh pendidikan pun mendirikan surau di kampung halamnnya, sehingga Islam di Minangkabau cepat diakses oleh masyarakat. Sekaligus surau semakin populer sebagai media penyebaran Islam, dan yang penting adalah surau telah membentuk karakteristik masyarakat Minangkabau. Gelombang surau ini, merupakan tonggak sejarah pemikiran Islam di Minangkabau. Dari surau ulama-ulama membangun think tank Islam. Surau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan dan pemikiran ke Islaman orang Minangkabau. Corak dan karakteristik surau sangat ditentutakan oleh otoritas ulama surau. Ulama sebagai pemilik surau membangun tradisi suraunya secara tersendiri. Bahkan surau sangat identik dengan corak pemikiran ke Islaman seorang ulama. Otoritas keulamaan ini kentara terlihat dalam tariqat yang diamalkan oleh ulama tersebut.
Dengan tradisi tariqat ini pula sangat mudah mencari link antara surau yang satu dengan lainnya. Surau-surau yang mempunyai aliran traiqat syatariah akan berhubungan dan berkaitan secara emosional dengan penganut traiqat yang sama, begitu pula dengan surau yang menjalankan traiqat naqsyabandiah akan terus menjalin hubungan dengan surau yang sealiran dengannya. Keterkaitan aliran surau ini sangat mudah menjejaki tradisi ke Islaman yang berkembang pada surau, karena link pemikiran dan tradisi yang berkembang selalu menurut alur tradisi guru terdahulu. Tradisi guru menjadi panutan dan dikembangkan oleh murid atau pengikut-pengikut selanjutnya. Diffusi ini secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tingkat pengamalan keislaman masyarakat
Pada masa ini ada dua kekuatan mendasar membangun tradisi pemikiran ke Islaman di minangkabau, pertama tradisi pendidikan surau dan kedua tradisi tariqat. Pada tradisi pendidikan surau, ulama adalah guru secara akademik, yang memberikan transfer knowledge. Yakni memberikan pengetahuan ke Islaman kepada murid-muridnya dengan sistem pendidikan kesurauan, atau dengan sistem salaf. Ulama di Minangkabau pada masa-masa awal sangat terkait dengan tariqat. Tariqat suatu jalan menuju kedekatan dengan Allah. Tariqat di Minangkabau pertama kali di bawa oleh Burhanuddin dari setalah berguru di Aceh, kemudian suraunya di ulakan menjadi otortitas tariqat syatariah di Minangkabau. Tariqat, biasanya tidak terpaut pada guru dan murid saja tetapi sudah menyebar kedalam jemaah. Tariqat lebih banyak bersentuhan dengan bathin, dalam ritualisasinya diimami oleh ulama yang memiliki aliran tariqat baik naqsyabandiah maupun satariyah. Tariqat mempunyai ritualisasi ibadah salah satunya dinamakan dengan suluk. Di Minangkabau, ulama pertama kali mewarisi ilmunya di surau, Surau, dalam masa perkembangannya sekitar abad ke-18 dan ke-19 Masehi, merupakan laboratorium pendidikan bagi orang Minang. Ulama sekaligus pemiliki surau. Biasanya surau memiliki ciri khas ke ilmuan tersendiri, sesuai dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama pemilik surau tersebut.
Sampai saat ini, sistem tradisional masih dijalani oleh ulama-ulama surau. Diantaranya, bisa ditemukan beberapa surau di daerah Pariaman sebagai wilayah pesisir dari alam Minangkabau. Di sini seorang ulama yang bergelar Tuanku mengajar di surau, dengan sistem yang belum berubah. Mata pelajarannya dan buku literatur yang dipakai pun masih seperti yang lama. Life style, kehidupan santrinya pun “ala” surau, yakni bermukim di surau. Santri diajak mandiri. Di samping itu, santri diperbolehkan untuk berjalan keliling untuk minta sedekah, dengan satu karung kain yang disandangnya. Di tengah masyarakat mereka di juluki oleh masyarakat dengan sebutan fakih atau orang surau. Malahan atribut mereka ini, menyimbolkan kesurauan.
Di Minangkabau ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun building karakteristik Minangkabau yang berasaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Bansandi Kitabullah. Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama sekali melalui institusi pendidikan surau. Pendidikan dalam pergerakan eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbangsih, yakni sebagai penyebaran aliran, ajaran agama Islam, dan kedua sebagai penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini, kemudian menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat link guru dengan murid tidak terputus dan dapat ditelusuri. Dalam kultur link seperti ini, sangat mempercepat penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau dan secara tidak langsung, mereka ini kemudian juga memiliki kontribusi sebagai penggerak ”pendulum” sejarah nasional Indonesia.
Dalam sejarah, banyak ulama Minangkabau yang tercatat dalam tinta emas sebagai "penggerak" arah sejarah nasional Indonesia yang berwibawa serta dihormati. Sebutlah diantaranya seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi -- ulama terkemuka asal Minangkabau yang mendapat pengakuan internasional dalam sejarah sebagai "guru besar" mazhab Syafii di Masjidil Haram pada masanya. Banyak murid-muridnya yang menyebar dan mentransfer ilmu ke beberapa negara seperti Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura (Temasek) dan Thailand Selatan (Pattani, Narathiwat dan Yala). Disamping itu juga dikenal ulama-ulama lain seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Abbas Padang Japang, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Djamil Djaho, Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Dotor dan anaknya HAMKA serta banyak lagi ulama-ulama lainnya yang memiliki pengaruh seperti mereka dalam masing-masing kecenderungan bidang yang mereka dalami, minimal untuk skala yang bersifat lokal. Sebagai bukti ilmiah, sudah banyak buku yang telah diterbitkan serta penelitian ilmiah yang dilakukan oleh berbagai kalangan.
Dalam perkembangan tradisi ilmiah, khususnya penelitian mengenai ulama-ulama Minangkabau, terlihat kecenderungan bahwa penulisan buku ilmiah ataupun penelitian yang dilakukan terfokus kepada riwayat hidup (include : vieuw world, dinamika zaman, pola transfer ilmu, hubungan guru-murid) ulama-ulama yang memiliki pengaruh atau "nama" skala nasional atau lintas geo-kultural. Sedangkan penelitian ilmiah serta penulisan buku tentang pengaruh ulama-ulama lokal sangat jarang dilakukan. Kalaupun itu ada, selalu bersifat parsial dan individual. Padahal, secara epistimologis, keberadaan dan kebesaran ulama-ulama kaliber nasional dan internasional Minangkabau diatas bisa diterima dengan melihat beberapa indikator, salah satunya adalah diaspora (penyebaran) pengaruhnya yang terlihat dari seberapa banyak murid-murid yang mereka miliki. Melalui murid-murid mereka inilah akan terjadi pula diaspora pengaruh keilmuan ulama itu sendiri. Pada umumnya, murid-murid ulama-ulama besar Minangkabau yang dikenal dalam sejarah terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat yang secara pengaruh, umumnya masih bersifat lokal, akan tetapi secara substansi mereka tetap sebagai definer of reality dalam masing-masing komunitas mereka. Mereka juga dianggap sebagai – atau dalam istilah atau term sosiologi – kelompok ataupun strata yang memiliki pengaruh signifikan, walaupun bersifat lokal-spasial.
Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada kajian Biografis sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu sejarah. Kajian biografis Ulama Sumatera Barat tersebut akan menjawab hal-hal sebagai berikut :
1. Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat.
2. Peranan sosial, budaya, politik, agama, keilmuan dan peran lainnya dalam realitas sosial dimana ulama tersebut berperan dan berkiprah.
3. Identitas personal dan pola konflik aliran ulama.
4. Responsibilitiy ulama terhadap masalah di lingkungan sosialnya.
Sedangkan batasan penelitian ini dibagi kepada tiga batasan, yaitu batasan waktu dan batasan spasial serta batasan tematik. Batasan waktu, difokuskan kepada waktu sebelum Paderi hingga akhir berakhirnya rezim Orde Baru dengan penekanan bahwa ulama yang menjadi kajian penelitian ini telah meninggal dunia. Untuk melihat jaringan pemikiran, jaringan guru-murid serta diaspora pemikirannya, batasan waktu ini sangat panjang. Dalam waktu yang demikian panjang tersebut, diasumsikan terdapat begitu banyak ulama-ulama historis yang tidak bisa tidak, harus diteliti. Untuk mensiasati hal tersebut, dalam rentang waktu panjang ini, 30 ulama akan dipilih sebagai ”pusat analisis” yang pada akhirnya akan melibatkan interaksi historis-intelektual banyak ulama-ulama yang lain. Sedangkan batasan spasialnya adalah area historis tempat ulama tersebut lahir dan melakukan interaksi intelektual serta interaksi guru-murid.
Sedangkan dalam batasan tematiknya, penelitian ini diarahkan pada riwayat hidup ulama yang difokuskan kepada Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat, Peranan sosial, budaya, politik, agama, keilmuan dan peran lainnya dalam realitas sosial dimana ulama tersebut berperan dan berkiprah, Identitas personal dan pola konflik aliran ulama dan Responsibilitiy ulama terhadap masalah di lingkungan sosialnya. Dalam penelitian ini tidak seluruh daerah diperlakukan sama, tergantung intensitas kegiatan ulama pada masing-masing daerah. Bisa saja, salah satu daerah menjadi "pusat" dari hubungan guru-murid dan aliran keagamaan maupun institusi yang mereka anut. Penelitian ini memiliki nilai penting dan strategis :
1. Secara akademik-historis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi epistimologis – untuk memperkaya capaian-capaian epistimologis kajian-kajian terdahulu – terutama yang menyangkut tentang pola dan jaringan eksistensi ulama-ulama Minangkabau, baik dalam aspek jaringan keilmuan, jaringan guru-murid, jaringan tareqah dan jaringan-jaringan fungsi dan peran lainnya yang ”dimainkan” oleh ulama-ulama pada zamannya sesuai dengan fungsi dan peran ideal seorang ulama serta bentuk transfer ilmu dan pemahaman keilmuan ”kezamanan” pada ulama yang diteliti tersebut hidup dan berperan. Hal ini akan memberikan kontribusi besar dalam melihat pengaruh seorang ulama dalam membentuk mainstream pemikirannya yang secara langsung ataupun tidak langsung juga memberikan kontribusi untuk membentuk mainstream sejarah Minangkabau itu sendiri.
2. Secara normatif-kultural, mayoritas ”nilai-nilai bernas” sejarah panjang Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari eksistensi ulama. Ulama menjadi salah satu icon sejarah Minangkabau. Diktum ”Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” akan mendapat tempat yang lebih ”kuat dan rasional” ketika sejarah ulama-ulama di teliti. Oleh karena itu, penelitian yang menyangkut riwayat hidup ulama sangat penting dilakukan. Apalagi hal ini kemudian lebih difokuskan kepada pola dan jaringan serta persebaran pengaruh.
3. Secara empirik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ”bahan mentah” atau ”bahan dasar” untuk melahirkan sebuah buku yang – setidaknya untuk sebuah ikhtiar – yang agak komprehensif-integral mengenai ulama-ulama Minangkabau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar