Rabu, 13 Januari 2010

Rahmah El-Yunusi (1900-1969)

Nenek moyang Rahmah El-Yunusiyah (selanjutnya disingkat RY) adalah dari Ampat Angkat Kabupaten Agam (beberapa kilometer dari kota Bukittinggi), dan hijrah ke Bukit Surungan Padang Pajang sekitar abad ke 18 yang lalu. Ibu RY bernama Rafi’ah – anak keempat dari lima bersaudara – dengan suku Sikumbang dan Penghulu kaum bergelar Datuk Bagindo Maharadjo. Sedang bapaknya bernama Syekh Muhammad Yunus seorang Ulama besar di Pandai Sikat. Di Padang Panjang keluarga Rafi’ah tinggal di Jalan Lubuk Mato Kuciang Padang Panjang, dan melahirkan 5 orang putera-puteri : Zainuddin Labay (1308-1342 H/1890-1924 M), Mariah (1311-1391 H/1893-1972 M), Mohammad Rasyad (1313-1375 H/1895-1956 M), Rihanah (1316-1388 H/1898-1968 M) dan Rahmah (1318-1388 H/1900-1969 M).

Ayah RY Mohd Yunus meninggal pada 1906 dalam usia 60 tahun dan dimakamkan di Makam keluarga yang terletak di hadapan Masjid Ashliyah (dulu bernama Masjid Pasar Usang). Karena seluruh anak-anak dari keluarga ini memanggil “Ummi” kepada ibu dan “Buya” pada ayah mereka, maka sampai ahir hayat bahkan setelah wafatnya, kedua mereka popular dengan panggilan “Ummi Rafi’ah” dan “Buya Syekh Mohd Yunus”. RY lahir pada pagi hari Jum’at tanggal 1 Rajab 1318 H, bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1900 M, di Kanagarian Bukit Surungan Padang Panjang, Sumatera Barat. Kelahiran RY dibidani oleh Kakak ibu mereka bernama Kudi Urai (Hajjah Khadijah) yang memang mempunyai propesi sebagai dukun beranak. Bahkan kelahiran bekas Perdana Menteri Indonesia pertama Sutan Syahrir, yang juga lahir di Padang Panjang tahun 1909, juga dibidani oleh Kudi Urai ini. Seperti sudah diuraikan, RY merupakan anak kelima dari lima bersaudara kandung. Pada masa kecilnya RY terkenal sebagai anak yang keras hati, berkemauan kuat dan bercita-cita tinggi. Kehendaknya pantang dihalangi. Dia sanggup menangis berjam-jam apabila keinginannya tidak terpenuhi. Sejak kecil, kepribadian yang kuat dan jiwa besarnya sudah menonjol. Sebagai seorang anak Syekh dan ulama terkenal, maka RY dari kecil sudah ditempa dan dibesarkan dalam suasana keluarga yang sangat religius, sekalipun dia ditinggal mati ayahnya dalam usia yang masih sangat muda yakni 6 tahun. Dari masa kanak-kanak RY sudah menyenangi pekerjaan masak-memasak, berbagai macam kerajinan tangan. Dia selalu menjahit bajunya sendiri. Namun semasa kecil RY sering sakit-sakitan, badannya kurus dengan kulit kering kehitam-hitaman. Semasa remaja, RY agak pemalu sehingga agak jarang bergaul dengan teman sebaya, dan ditambah karena dia yatim yang sudah tidak punya ayah untuk bermanja, akibatnya dia banyak memikirkan dan menyelesaikan sendiri urusannya. Dia berkembang menjadi remaja yang tabah, keras hati, teguh pendirian, sifat yang dibawanya sampai dewasa.

RY mendapat pendidikan dari kakaknya yang tertua Zainuddin Labay dan kakaknya nomor 3 Mohammad Rasyad baik di rumah maupun sekolah. Pada tahun 1915 Zainuddin Labay mendirikan Diniyah School suatu lembaga pendidikan dengan sistem modern, maka RY juga dimasukkan ke lembaga pendidikan modern ini. RY juga membaca seluruh buku-buku dan majalah yang dikarang oleh kakaknya Zainuddin Labay, dari kedua sumber – pendidikan formal Diniyah School dan oto-didak karangan-karangan ZL -- inilah RY berkembang secara akademik. Tidak puas dengan belajar pada kakaknya, dia belajar lagi pada Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiek Haji Rasul) ayah dari HAMKA (alm), yang waktu itu mengajar di Surau Jembatan Besi dan bertempat tinggal di Gatangan Padang Panjang. Kemudian RY bahkan belajar dengan Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Lathief Rasyidi, Syekh Jamil Jambek dan Syekh Daud Rasyid (kedua yang terakhir ini di Bukittinggi). Ikut belajar bersama RY adalah Rasuna Said dari Maninjau, Nanisah dari Bula’an Gadang Banuhampu dan Djawana Basyir dari Lubuk Alung. Antara tahun 1931-1935 RY mengikuti kursus P3K dan Ilmu Kebidanan di Rumah Sakit Umum Kayu Tanam, dan kemudian melanjutkannya dengan beberapa orang dokter : dokter Sofyan Rasyad di Kayu Tanam, dokter Tazar di Kayu Tanam, dokter A. Saleh di Bukittinggi, dokter Arifin di Payakumbuh, dokter Rasyidin di Padang Panjang, dan dokter A. Sani di Padang Panjang.

Sehingga RY mendapat sertifikat keahlian dalam bidang P3K dan Ilmu Kebidanan, dan mendapat izin membuka praktek Kebidanan. Belum puas dengan berbagai ilmu dan keterampilan tersebut, RY bahkan belajar gymnastik dengan seorang guru berkebangsaan Belanda bernama Miss. Oliver pada Meisyes Normal School (setingkat SPG) di Guguk Malintang. Panggilan kesayangan keluarga dekat pada RY adalah “Amah”, panggilan yang lebih formal, seperti panggilan murid-murid “Encik Rahmah”, sedang panggilan lengkapnya “Rangkayo Hajjah Rahmah El-Yunusiyah”. RY menikah pada hari Senin tanggal 15 Mei 1916, waktu dia berusia 16 tahun dengan Haji Bahauddin Latif, anak seorang ulama Tariqat Naqsyabandi di Negeri Sumpur bernama Haji Syekh Abdul Latif, atas permintaan kakaknya Zainuddin Labay. H. Bahauddin ini disamping seorang ulama, guru, pendakwah juga seorang aktifis politik Perkawinan dilangsungkan di rumahnya di Bukit Surungan, dan mereka sempat hidup bersama di rumah ini. Namun kemudian suaminya H. Bahauddin pindah mengajar ke Silungkang, dan kemudian pindah lagi ke Durian, Sawah Lunto dan disini H. Bahauddin mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama sama “Diniyah Putera” di Durian. Karena aktifitas suaminya yang selalu berpindah-pindah dan dipenuhi oleh berbagai aktifitas politik, maka RY bersepakat untuk tidak ikut berpindah bersama suaminya. RY tetap di Padang Panjang melanjutkan pendidikannya di Diniyah School pimpinan kakaknya Zainuddin Labay dan berguru ke beberapa orang guru seperti sudah disebutkan sebelumnya. Adalah sebuah kenyataan bahwa rumah tangga mereka dilalui dalam keadaan berjauhan dan kadang-kadang karena sama-sama keras sering kali mereka menghadapi konflik.

Pada tahun 1919 H. Bahauddin menikah lagi dengan wanita keturunan Jawa bernama Intan, dan tahun 1920 dengan Dji’ah asal Ulak Karang Padang, akibatnya rumah tangga RY semakin menghadapi masalah. Walaupun RY adalah seorang yang dididik dengan ajaran agama yang sangat ketat dan kuat, namun bagaimanapun kondisi rumah tangganya tetap menjadi masalah sulit baginya. Setelah memohon petunjuk Allah SWT, akhirnya RY bercerai dengan H. Bahauddin secara baik-baik pada hari Kamis tanggal 22 Juni 1922, setelah hidup berumah tangga selama enam tahun tanpa mendapatkan anak. Walaupun mereka telah bercerai, namun hubungan baik sebagai saudara tetap terpelihara, hal itu dibuktikan dengan datangnya RY mengunjungi bekas suaminya yang ditangkap Belanda dan dipenjarakan di penjara Cipinang Batavia, demikian juga setelah yang bersangkutan keluar dari penjara. Walaupun ada juga teman-teman dekat mereka yang mengusahakan agar mereka rujuk kembali, tapi karena besarnya idealisme dan cita-cita masing-masing, serta kerja besar yang dihadapi, mereka tetap berpisah sampai akhir hayatnya.

Harapan dan cita-cita RY untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak perempuan besar sekali, supaya mereka mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk maju dan dapat menyauk dan menimba ilmu lebih banyak lagi. Pada waktu itu, anak-anak perempuan dan gadis-gadis remaja Muslim banyak dikungkung dan dipingit dirumah, tidak mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, sampai akhirnya mereka terpaksa (dipaksa) menikah dan akhirnya menjadi ibu rumah tangga tanpa persiapan. Sangat banyak kasus kawin muda diikuti dengan perceraian muda dan akhirnya menjadi janda muda. Seluruhnya terjadi tanpa ada yang dapat mencegahnya, mengatasinya. Seluruhnya bagaikan sudah “takdir” yang tidak dapat dirobah dan dielakkan lagi.

Bercermin pada apa yang disaksikannya dan bahkan pada apa yang dialaminya sendiri, maka RY bertekad mengatasinya dengan memulai langkah pertama melalui lembaga pendidikan. Dengan pendidikan yang memadai, maka kaum perempuan akan memasuki jenjang rumah tangga dengan persiapan yang lebih baik, dan mereka menjalankan rumah tangganya juga dengan lebih baik, sehingga ekses yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan lebih bijaksana. RY meminta pertimbangan pada kakaknya yang sebelumnya telah mendirikan Diniyah School (untuk putera dan puteri), ternyata kakaknya mendukung cita-cita dan obsesi RY. Kemudian RY berbincang pula dengan sesama Pengurus Persatuan Murid Diniyah School (PMDS), ternyata kawan-kawan puterinya mendukung dengan antusias. Seluruh mereka berbai’at untuk secara bersama-sama mewujudkan cita-cita besar tersebut. Pada tanggal 1 Nopember 1923, dengan dukungan dari kakaknya, guru-guru, kawan-kawan puteri sesama Pengurus PMDS, akhirnya dididirikan sekolah khusus puteri yang diberi nama Almadrasatul Diniyah atau Meisyes Diniyah School yang dalam bahasa Indonesia popular dengan Sekolah Diniyah Puteri. Yang dimpimpin oleh RY sendiri. Sekolah yang baru dibuka ini belum mempunyai gedung sendiri, tapi menompang pada ruangan luar Masjid Pasar Usang (sekarang Masjid Ashliyah), dengan hanya 71 orang murid, yang terdiri dari temaja dan bahkan ibu-ibu rumah tangga.

Proses belajar pada awalnya belum menggunakan meja, kursi dan peralatan belajar lainnya, mereka hanya duduk bersila di atas tikar menghadapi kitab masing-masing menerima pelajaran dari guru-guru yang duduk menghadapi meja kecil. Lama belajar dalam sehari hanyalah dari pukul 08.00 sampai pukul 10.30, yaitu untuk 3 (tiga) jam pelajaran. Seluruh mata pelajaran hanyalah pengetahuan agama dan bahasa Arab saja. Keberadaan sekolah khusus puteri ini, pada awalnya mendapat tantangan yang tidak kecil, baik ditujukan pada pendiri RY, pada murid-murid dan bahkan Suami dan orang tua dari murid-murid tersebut. Segala rupa cemo’ohan ditimpakan pada jajaran sekolah ini, antara lain cemo’oh itu berbunyi : “Manga polu rangkayo Amah ko, kama buku tu ka inyo bao, kadapuo atau katampek tiduo, setinggi-tinggi ilimunyo, padusi tu indak lain karajonyo kadapue juo dst”.

Pada hari Kamis tanggal 10 Juli 1924 tokoh besar Zainuddin Labay yang mendirikan Diniyah School meninggal dunia, dalam usia yang sangat muda yakni 34 tahun 4 bulan 26 hari. Setelah memimpin sekolah yang didirikannya selama 9 tahun, dan mengayomi sekolah yang didirikan adiknya RY selama 9 bulan. Banyak orang mengira bahwa lembaga pendidikan ini akan lenyap bersama kepergian Zainuddin Labay, tapi ternyata bahwa ditangan RY pendidikan tersebut hidup dan berkembang semakin lama semakin pesat. Kemudian Diniyah Puteri menyewa sebuah gedung bertingkat sebagai tempat pendidikan. Bagian atau lantai atas untuk asrama dan bagian bawah untuk pendidikan. Untuk melengkapi lembaga pendidikan, RY membangun pendidikan Pemberantasan Buta Huruf, bahkan dia membuka “Sekolah Menyesal” bagi mereka yang telah terlambat untuk belajar dan menuntut ilmu dan ketrampilan. Pada tahun 1925 ternyata gedung yang disewa tersebut sudah tidak memadai lagi karena jumlah murid semakin banyak. Untuk itu disepakati untuk membangun gedung sendiri, dengan mengerahkan tenaga yang ada, antara lain bergotong-royong mengangkat batu kali dari sungai Lubuk Mato Kuciang, gotong royong ini berhasil membangun pondasi gedung.

Namun sayang, pada hari Senin tanggal 28 Juni 1926 hari Senin siang terjadilah gempa bumi yang dahsyat yang menghancurkan seluruh bangunan di kota Padang Panjang, termasuk gedung yang disewa dan bahkan pondasi yang baru saja dibangun. Dalam gempa bumi ini, seorang guru dan pendiri Diniyah Puteri bernama Nanisah yang berasal dari Bulaan Gadang Banuhampu Bukittinggi, ikut wafat tertimpa runtuhan bangunan. Lengkap sudah cobaan yang menimpa RY, Kakak kandungnya wafat beberapa bulan sebelumnya, gedungnya sekolah dan asrama roboh karena gempa dan kawan setianya wafat ditimpa reruntuhan gempa.

Apakah semangat dan cita-cita besar RY lenyap bersama sapuan gempa dahsyat yang menghancurkan kota Padang Panjang ? Ternyata tidak, semangat dan obsesinya lebih kuat dari gempa tersebut. Hanya 40 hari setelah dihajar gempa, RY kembali memulai pendidikan dari titik nol. Semua potensi – murid, orang tua murid, guru dan mereka yang bersimpati – secara bersama-sama membangun kembali sebuah bangunan sangat sederhana, bangunan dari bamboo, beratap rumbia, dinding sasak (bamboo yang dianyam) berlantai tanah, berukuran 12 x 7 m2, dibagi untuk dua ruangan belajar dan selebihnya untuk asrama. Bersama gedung baru yang sangat sederhana, ternyata menimbulkan semangat baru, dengan metode belajar yang juga baru. Mulai saat ini mereka belajar menggunakan sistem klasikal, yang biasa digunakan pada sistem pendidikan modern.

Atas dorongan dan motivasi dari berbagai pihak dan tokoh, maka kerja keras RY dibantu oleh kalangan Bapak-bapak, antara lain Mohd. Zein Jambek, tokoh-tokoh pendidikan Indonesich Nederlandsche School (INS) Kayu Tanam, PMDS Putera dan Puteri, Kepanduan El-Hilal, Sumatera Thawalib School Padang Panjang, sehingga menghasilkan dana pembangunan yang lebih banyak. Mereka melakukan safari penggalangan dana, antara lain ke Aceh, Sumatera Utara dan bahkan ke Batavia. Tanggal 29 Agustus 1927, RY berangkat ke Aceh dan Sumatera Utara, dan setelah berkeliling mengumpulkan selama 3 (tiga) bulan berhasil dikumpulkan sebanyak f 1.569 (seribu lima ratus enam puluh sembilan gulden Belanda). Dan bulan Desember 1927 dimulai pembangunan gedung permanent dan dapat diselesaikan pada Oktober 1928 dengan total biaya f 7.000 (tujuh ribu gulden Belanda). Kekurangan biaya ditutupi dengan cara meminjam pada seorang hartawan H. Abdul Gani di kota Padang, dan mencicilnya f 50 sebulan. Kemudian dengan bersusah payah, kembali dibangun gedung baru yang terletak disebelah timur gedung lama, sehingga berhasil dibangun dua bangunan : Asrama Barat dan Asrama Timur. Bersamaan dengan pembangunan fisik, ternyata peminat sekolah ini meningkat menjadi 350 orang murid, dan 275 orang diasramakan, dan 75 lainnya bersama orang tua mereka disekitar padang Panjang.

Masa itu sangat gencar semangat untuk terjun kedunia politik, yang mencapai puncaknya dengan didirikannya Partai Politik PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) pada 1931 yang dipimpin oleh Mokhtar Lutfi di Padang Panjang, semua pihak bagaikan terbawa arus berpolitik tersebut, tidak ketinggalan dikalangan Guru dan murid-murid Sumatera Thawalib dan Diniyah Puteri sendiri, yang dimotori Rasuna Said salah seorang guru di Diniyah Puteri. Maka terjadilah polarisasi antara RY dengan rekannya Rasuna Said dan PERMI, antara terlibat atau tidak terlibat dalam politik. Menghadapi “godaan politik” tersebut ternyata RY tetap bersikukuh dengan pendiriannya, bahwa Diniyah Puteri sebagai institusi tidak akan terlibat politik, dan tidak bersedia berada dibawah naungan PERMI, suatu sikap yang waktu itu kurang populer. Juga ketika ada gagasan H. Mahmud Yunus untuk menggabungkan seluruh sekolah/perguruan agama kedalam suatu wadah tunggal agar memiliki kekuatan, RY juga menolaknya dengan alasan biarlah setiap sekolah berkembang dengan kondisi dan histories serta lingkungannya yang berbeda, tidak perlu disatukan kebawah satu wadah, dan agar nanti jika terjadi sesuatu dengan wadah tersebut, tidak perlu pula seluruh sekolah yang dinaunginya bubar. Kekukuhan RY untuk tidak membiarkan Diniyah Puteri terlibat, terbawa arus politik mendapat kritikan tajam oleh tokoh-tokoh politik waktu itu. Tapi benarkan RY tidak suka, alergi/membenci politik? Sebenarnya RY karena panggilan kejuangannya tidak membenci politik, sebagaimana akan diuraikan dalam butir berikutnya, dia secara pribadi akhirnya menjadi “pemain politik” praktis yang handal, hanya karena sayangnya pada lembaga yang dibina dan dilahirkannya dengan susah payah, maka dia memproteksi lembaga pendidikannya ini dengan mendindingnya dari keterlibatan politik.

Suatu peristiwa menghebohkan terjadi pada bulan September 1935, ketika Landraad mengabulkan permohonan H. Abdul Gani, yang memohon sita bangunan sekolah Diniyah Puteri, karena RY dan pengurus tidak kunjung dapat melunasi hutang-hutangnya pada H., Abdul Gani yang masih tersisa sebanyak f 1.300 (seribu tiga ratus gulden belanda). Keputusan landraad cukup mengagetkan sekaligus menyadarkan masyarakat umumnya, tentang nasib dan arti penting keberadaan Diniyah School. Tidak sampai setahun kemudian mereka dapat melunasinya, bahkan berlebih dan dapat membangun tambahan gedung asrama ketiga, berkat kerja keras “Panitia Penolong Diniyah School Puteri”. Di Batavia juga dibentuk “Komite Penolong Usaha Rahmah Minangkabau” yang dipimpin oleh Agus Salim, M. Yamin, Zainuddin Rasyad St Sinaro, Zainuddin Moein, A. Mokhtar, Nasroen A.S, A. Muthalib dan Oedin M. Solaiman. Ketika sedang berada di Batavia, dia sempat mendirikan tiga buah Cabang Sekolah Diniyah Puteri di Batavia, yakni di Gang Nangka Kwitang, Meester Cornelis (Jatinegara) dan Kebon Kacang, Tanah Abang.

Setelah 13 tahun lamanya Diniyah Puteri berdiri dan berkembang, lalu tanggal 1 Februari 1937 didirikan Kulliyatul Mu’allimat el-Islamiyah (KMI) Sekolah Guru Puteri Islam sebagai wadah untuk melanjutkan tamatan Diniyah Puteri, dengan masa belajar 3 tahun. Dan pada 17 Juli 1938 dididirikan dua lembaga sekaligus. Yakni badan penerbit Darul Kutub dan Perpustakaan Kutub Khannah. Perpustakaan ini tumbuh menjadi besar bersamaana dengan tumbuhnya lembaga pendudikan ini, sedang Penerbitnya, selalu menerbitkan buku-buku pelajaran Diniyah khususnya maupun buku-buku agama untuk masyarakat umum. Bulan April 1940, RY diundang menghadiri Konggres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Kotaraja (Aceh), sehingga RY oleh Ulama-ulama Aceh dipndang sebagai Ulama Wanita terkemuka di Sumatera.

Gagasan dan ide-ide cemerlang RY tidak pernah kering, setiap ada karya dan prestasi baru, maka dibelakang itu muncul ide-ide baru, begitulah setelah semua harapannya ketika muda seakan telah tercapai, maka diakhir hayatnya dia menggagas Perguruan Tinggi untuk wanita Islam, yang akhirnya berhasil pula diwujudkan dengan didirikannya Perguruan Tinggi Diniyah Puteri (Al-Jami’atud Diniyah lil Banaat), dengan satu Fakultas yakni Fakultas Tarbiyah dan Dakwah, yang diresmikan tanggal 22 Nopember 1967 bertepatan dengan 20 Sya’ban 1387 H. diresmikan Gubernur Sumbar Prof. Drs.Harun Zein. Peresmian ditandai dengan penandatanganan Piagam oleh Gubernur Sumbar, disaksikan oleh Dekan Fakultas Tarbiyah dan Dakwah Perguruan Tinggi Diniyah Puteri H. Izzuyddin Marzuki LAL, Kakanwil Depag Sumbar KH. Djazuli Wangsasaputera, dan tokoh Islam internasional M. Natsir dan DR. Zakiah Drajat.

Dengan Surat Keputusan Menteri Agama RI, nomorc 117 tahun 1969, Fakultas Tarbiyah dan Dakwah dirobah menjadi Fakultas Dirasat Islamiyah, dan ijazah Bacaloreat (Sarjana Muda) diakui sama dengan Bacaloreat Fakultas Ushuluddin IAIN. Menjelang akhir hayatnya, ada sebuah obsesi yang belum kesampaian, yakni membangun Perguruan Tinggi atau Universitas Wanita yang mencakup Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syari’ah, Fakultas Sastera, Fakultas Psikologi, Fakultas Perindustrian dan fakultas Kebidanan/Perawatan, yang menghimpun l.k. 2.000 orang mahasiswa, sebuah obsessi yang tidak semua orang pernah memikirkannya. Menjelang magrib, hari Rabu tanggal 26 Februari 1969, bertepatan dengan 9 Zulhijjah 1388 H, RY kembali menghadap sang Khaliq untuk selama-lamanya.Membawa semangat dan cita-citanya yang melebihi besarnya gempa Padang Panjang, dan meninggalkan berbagai karya dan ide-ide besar yang tetap abadi sampai saat ini.

Seperti sudah disebut terdahulu, seakan-akan RY membenci atau alergi bidang politik, karena dia sangat kuat menolak dilibatkannya Lembaga Pendidikan Diniyah Puteri kedalam aktifitas dan menjadi onderbow lembaga politik manapun, namun karena RY adalah seorang keturunan pejuang, hidup dalam kancah perjuangan dan memiliki wawasan kejuangan yang sangat dalam, RY ternyata seorang pejuang politik yang sangat handal. Tapi sekali lagi, dia mampu membedakan mana yang institusional (Diniyah Puteri) dan mana yang personal atau pribadi. Pada masa penjajahan Belanda, di Padang Panjang diangkat seorang controleur bernama Dr. Van Straten yang sangat pandai dalam adat istiadat Minang dan agama Islam, guna menundukkan semangat nasionalisme yang telah berkembang pesat dikalangan Ulama, dan generasi muda Islam yang terdapat di Sumatera Thawalib dan PMDS. Pada 1932 Belanda mengeluarkan dua macam peraturan (ordonanstie) yang tidak dapat diterima oleh Umat Islam, yang pertama Ordonansi Kawin Bercatat dan Ordonansi Sekolah Liar. Dimana-mana di berbagai tempat di Indonesia umumnya dan Sumatera Barat khusuysnya dibentuk Panitia menentang kedua ordonansi tersebut. Panitia penolakan Ordonansi Kawin Bercatat di bentuk di Bukittinggi, dan Panitia Penolakan Sekolah-sekolah liar dibentuk di Padang Panjang dan dipimpin oleh RY sendiri. Sebelumnya berkali-kali Belanda melalui Dr. Van Straten dan Ass. Residen menawarkan pada RY agar Diniyah Puteri bersedia menerima subsidi (bantuan) Belanda dan didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar, RY menolak dengan alasan Diniyah Puteri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat dan berada dibawah perlindungan/naungan Allah SWT, sehingga tidak diperlukan perlindungan selainnya. Sehingga Diniyah Puteri bebas dalam sistem yang akan digunakan, tujuan yang hendak dicapai serta kurikulum yang digunakan.

Pada masa penjajahan Jepang, dimana seluruh rakyat sangat menderita kekurangan makanan dan pakaian, maka RY turut serta meringankan beban rakyat, dengan menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja, kain pintu (gordyn) yang ada pada Diniyah Puteri, dijadikan baju dan diberikan pada masyarakat yang memerlukan. RY juga memotivasi masyarakat yang masih bisa makan untuk menyisakan satu genggam (beras genggam) setiap kali memasak lalu membagikannya pada rakyat yang sangat sukar mendapatkan bahan makanan. Lebih dari itu, masyarakat Padang Panjang sama merasakan kehadiran Diniyah Puteri, dimana mereka bisa datang kapan saja untuk minta makan bersama murid-murid Diniyah Puteri sekalipun juga sudah sangat kekurangan. Seluruh kegiatan tersebut dikoordinasi oleh badan yang bernama Anggota Daerah Ibu (ADI). RY dan pengurus ADI lainnya, sekuat tenaga mempertahankan gadis-gadis Minang ketika tentara pendudukan Jepang mencoba memaksa menjadikannya wanita penghibur. Disamping itu RY juga menjadi Ketua Haha No Kai (Organisasi Wanita) Sumatera Tengah, yang menjadi bagian dari Gyu Gun En Kai yang dimaksudkan agar para pemuda terlibat dalam Gyu Gun suatu lembaga bela negara. RY juga diminta menjadi anggota Hoko Kai Sumatera Tengah.

Ketika di Bukittinggi dibentuk Mahkamah Syari’iyah, RY juga ikut menjadi anggota. Juga ketika kemudian di Bukittinggi dibentuk Majlis Islam Tinggi yang pada awalnya merupakan induk atau gabungan dari berbagai lembaga keagamaan pada tingkat Sumatera Tengah, maka RY juga diminta menyertainya. Pada akhir masa pendudukan Jepang, Jepang membentuk lembaga yang mempersiapkan kemerdekaan dimana didalamnya duduk tokoh dan wakil-wakil dari seluruh Sumatera yang bernama Sumatera Cuo Sangi In yang diketuai oleh Mohd. Syafe’I, dan wakil dari kaum ibu duduk RY dan Ny Chailan Syamsu Dt Tumanggung sebagai anggota peninjau. Beberapa waktu setelah berita tentang proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 sampai di Padang Panjang melalui Ketua Sumatera Cuo Sangi In Mohd. Syafe’i, maka RY secara berani mempelopori mengibarkan Sangsaka Merah Putih di lembaga yang dipimpinnya. Pengibaran bendera pertama ini memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat Minangkabau, karena terjadi dalam suasana puasa Ramadlan 1364 H.

Ketika kemudian bermunculan Lasykar-lasykar rakyat yang ingin membela kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali Lasykar Sabilillah dan Hizbullah, maka sekali lagi Diniyah Puteri tampil menjadi dapur umum dan P3K. Sangat tepat panggilan mereka pada RY sebagai Bundo Kanduang barisan perjuangan. Ketika terjadi Agresi Belanda II pada 1949, Rahmah ditangkap Belanda setelah bergerilya bersama para pejuang lainnya di lereng gunung Singgalang pada tanggal 7 Januari 1949, ditahan selama seminggu di tahanan wanita di Padang Panjang, kemudian dipindahkan ke Padang dengan status tahanan rumah (huis arrest) dan kemudian diperingan dengan status tahanan kota (stad arrest), seluruhnya tanpa proses verbal.

Setelah ditahan selama l.k. 9 (sembilan) bulan di kota Padang Panjang dan Padang akhirnya dia dibebaskan bersyarat setelah dia diundang mengikuti Kongres Pendidikan Antar Indonesia di Yogyakarta pada bulan Oktober 1949. RY baru benar-benar bebas dan kembali ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta dan setelah Belanda mengakui kemerdekaan RI hasil Konperensi Meja Bundar di Den Haag. Setelah bergabung dengan partai Islam Masyumi (diangkat sebagai Badan Komisi Keuangan partai dengan SK nomor : 5/5/6), maka dalam PEMILU I 1955, RY menjadi salah seorang anggota Konstituante mewakili MASYUMI Sumatera Tengah, posisi ini tetap bertahan sampai tahun 1957. Pada Juni 1957, RY berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan kemudian diundang mengunjungi beberapa negara, antara lain : Syria, Lebanon, Yordania, Iraq dan Mesir. Di Mesir RY mendapat kehormatan “Syaikhah” dari Perguruan tinggi tertua di Timur Tengah yakni Al-Azhar, yang diberikan dalam Suatu Sidang Senat Luar Biasa. Suatu gelar yang belum pernah diberikan pada siapapun sebelum dan bahkan sesudahnya. Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, RY merasa bahwa Sukarno telah semakin jauh melenceng dari garis bersama dan terbawa arus kuat PKI, sehingga RY merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, sehingga memaksanya kembali pulang ke lembaga perguruannya di Padang Panjang.

Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir 1958, akibat ketidak setujuan atas sepak terjang Sukarno yang semakin terbius komunisme, karena mengikuti keyakinannya dan garis partainya RY kembali ikut bergerilya ditengah rimba raya bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya. RY baru bergabung kembali dengan sanak saudaranya sejak Agustrus 1961. Pada 1964 RY menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadie Medan, dan Desember 1967 membentuk Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Puteri di Jakarta, dan terakhir pada 1968 beliau masih sempat mengunjungi banyak sekali murid-murid beliau di Malaysia. Selama di Malaysia beliau dijamu secara istimewa oleh Datin Sakinah (isteri menteri Besar Kelantan Datok Muhammad Asri). Tercatat beliau pernah bersilaturrahmi dengan murid-murid beliau di Malaysia (dulu semenanjung Malaya) pada tahun 1933, 1935 dan terakhir 1968.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang


2 komentar:

  1. so fenomenal..!!! single fighter of woman..!

    BalasHapus
  2. Tadi mendengar perjuangan Rahmah El-Yunusi langsung dari Usth. Fauziah Fauzan, Subhanallah. Bumi Indonesia tak habis-habis melahirkan perempuan2 hebat. Safiatuddin tajul alam, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan beliau RY.

    BalasHapus